12 Januari 2012
Symbian OS
Symbian OS adalah sistem operasi tak bebas yang dikembangkan oleh Symbian Ltd. yang dirancang untuk digunakan peralatan bergerak (mobile).
1. Gambaran umum
Saat ini Symbian OS banyak telah banyak digunakan oleh berbagai vendor produk peralatan komunikasi mobile pada berbagai jenis produk mereka yang bervariasi. Variasi dari sisi hardware ini dimana Symbian OS diimplementasi dapat dimungkinkan karena sistem operasi ini memiliki antarmuka pemprograman aplikasi (Application Programming Interface; API). API mendukung terhadap komunikasi dan tingkah laku yang umum pada hardware yang dapat digunakan oleh objek aplikasi lain. Hal ini dimungkinkan karena API merupakan objek antarmuka yang didefenisikan pada level aplikasi, yang berisikan prosedur dan fungsi (dan juga variabel serta struktur data) yang mengelola/memanggil kernel dimana sebagai penghubung antara software dan hardware. Dengan adanya standar API ini membantu pihak pengembang untuk melakukan penyesuaian atas aplikasi yang dibuatnya agar dapat diinstal pada produk telepon bergerak yang bermacam-macam.
Mirip seperti sistem operasi desktop, Symbian OS mampu melakukan operasi secara multithreading, multitasking dan pengamanan terhadap memori. Dan semua pemrograman pada Symbian dilakukan secara event-based, artinya hardware CPU menjadi tidak aktif ketika tidak ada inputan berupa aktivitas tertentu. Namun perlu dipahami sistem operasi ini memang ditujukan untuk diinstal pada peralatan mobile dengan keterbatasan sumber daya. Multithread dan multitasking memberikan kemampuan Symbian OS untuk menjalankan lebih dari satu aplikasi sekaligus. Namun khusus ini, adanya preemptive multitasking kernel akan memberi tiap-tiap program suatu pembagian waktu pemprosesan yang dilakukan bergantian dengan cepat sehingga nampak bagi pemakai seolah-olah proses ini dieksekusi secara bersamaan. Untuk itu telah didefinisikan penjadwalan berdasar prioritas tertentu untuk menentukan proses mana yang berjalan terlebih dahulu dan proses apa berikutnya serta berapa banyak waktu akan jadi diberi.
Symbian OS sendiri bukanlah software yang sifatnya open source secara penuh karena meskipun terdapat ketersedian API dan dokumentasinya, yang banyak membantu pihak pengembang aplikasi untuk membuat software yang berjalan di atas sistem operasi ini, dipublikasi untuk umum namun tidak untuk kode source sendiri.
2. Sejarah
Pada tahun 1980, berdiri perusahaan pengembang software Psion yang didirikan oleh David Potter. Produk dari perusahaan itu diberi nama EPOC. Sistem operasi ini lebih difokuskan pada penggunaannya di telepon bergerak. Pada tahun 1998, terjadi sebuah kerjasama antara perusahaan Ericsson, Nokia, Motorola dan Psion untuk mengeksplorasi lebih jauh kekonvergensian antara PDA dan telepon selular yang diberi nama Symbian. Pada tahun 2004 Psion menjual sahamnya dan hasil kerjasama ini menghasilkan EPOC Release 5 yang kemudian dikenal dengan nama Symbian OS v5. Sistem operasi dari Symbian OS v5 itu sudah mulai mengintegrasikan kebutuhan implementasi aplikasi pada perangkat seperti PDA selain telepon seluler.
Kemudian muncul perangkat yang dinamakan smartphone dan muncullah pula versi-versi terbaru dari Symbian OS hingga ada yang disebut dengan Symbian v6.0 atau yang lebih terkenal dengan nama ER6 yang merupakan versi pertama dari Symbian OS. Sifatnya terbuka karena pada sistem ini dapat dilakukan instalasi perangkat lunak oleh berbagai pengembang aplikasi. Pada awal tahun 2005, muncul Symbian OS v9.1 dengan sistem keamanan platform baru yang dikenal sebagai capability-based security. Sistem keamanan ini mengatur hak akses bagi aplikasi yang akan diinstal pada peralatan dalam hal mengakses API.
Muncul pula yang disebut dengan Symbian OS v9.2 yang melakukan perbaharuan pada teknologi konektifitas Bluetooth dengan digunakannya Bluetooth v.2.0. Sedangkan yang terbaru, Symbian mengeluarkan Symbian OS v9.3 (dirilis pada tanggal 12 Juli 2006) telah mengusung teknologi wifi 802.11 dan HSDPA sebagai bagian dari komponen standarnya.
3. Arsitektur Sistem Operasi
Secara umum arsitektur Symbian OS sendiri dapat gambarkan menjadi empat lapisan berdasarkan penggunaan API yang tersedia, yaitu :
3.1 Lapisan pendukung aplikasi (Application Utility Layer)
Lapisan ini terdiri dari berbagai pendukung yang berorientasi pada aplikasi. Hal ini memungkinkan aplikasi lain (diluar sistem operasi) untuk berintegrasi dengan aplikasi dasar yang tersedia pada sistem operasi. Bentuk layanan lain termasuk proses pertukaran data dan manajemen data.
3.2 Lapisan layanan dan framework antarmuka grafis (GUI Framework)
Lapisan ini merupakan framework API yang tersedia untuk memberi dukungan terhadap penanganan input user secara grafis maupun suara yang dapat digunakan oleh aplikasi lain.
3.3 Lapisan komunikasi
Lapisan ini berfungsi sebagai sistem operasi yang fokus diimplementasi pada peralatan komunikasi mobile, Symbian OS memiliki kumpulan API yang fokus pada lapisan komunikasi. Bagian teratas pada lapisan ini terdapat dukungan pencarian dan pengiriman pesan teks. Berikutnya adalah antarmuka yang memberi dukungan komunikasi seperti Bluetooth dan infrared (IrDA) serta USB. Yang terakhir pada lapisan ini adalah protokol komunikasi berupa TCP/IP, HTTP, WAP dan layanan telepon.
3.4 Lapisan sistem API dasar
Lapisan ini merupakan kumpulan API yang mendukung pengasksesan data memori, tanggal dan waktu, serta sistem dasar lainnya.
4. Klasifikasi Sistem Operasi
Klasifikasi ini berdasar fungsionalitas dan hak akses dari API tertentu. Tujuan dari pendefinisian sistem ini selain untuk membedakan API mana saja yang bisa diakses oleh aplikasi yang dibuat oleh pihak pengembang aplikasi, juga tetap memelihara integrasi dari layanan yang disediakan bagi pihak pengembang aplikasi dengan API yang umum digunakan. Hal ini juga dilakukan untuk memaksimumkan interoperabilitas antara berbagai produk yang menggunakan Symbian OS.
Terdapat empat kategori dalam klasifikasi API yang tersedia, yaitu:
4.1 (API) Symbian Umum
Komponen ini merupakan komponen (API) inti dari Symbian OS. Setiap pengembang aplikasi dapat berasumsi bahwa komponen ini terdapat pada setiap versi Symbian OS sehingga dapat digunakan pada setiap perangkat telepon bergerak yang menggunakan Symbian OS sebagai sistem operasinya. Dengan kata lain setiap kode program yang hanya menggunakan API pada kategori ini dapat dikompail dan dijalankan tanpa kesalahan pada setiap telepon yang menggunakan Symbian OS. Dengan adanya lisensi kerjasama, pengembang aplikasi dapat menambahkan dengan syarat tidak mengganti ataupun mengubah fungsi API standar yang dikategorikan pada bagian ini.
4.2 (API) Symbian Umum Tergantikan
Komponen yang memerlukan kostumisasi dari komponen Symbian Umum yang diperlukan untuk bekerja dengan ROM dari sistem dimana ia diinstal. Komponen ini merupakan komponen yang bekerja pada low-level dari hardware tertentu. Untuk mendapatkan komponen ini pihak pengembang aplikasi memerlukan lisensi dengan pihak Symbian karena versi komponen ini disediakan oleh pihak Symbian. Namun pada dasarnya komponen ini merupakan komponen standar (umum) yang tersedia pada semua versi Symbian OS.
4.3 (API) Symbian Opsional
Komponen-komponen ini sifatnya opsional (tidak selalu ada) pada semua versi Symbian OS. Namun jika tersedia, maka pengembang aplikasi mendapat jaminan bahwa aplikasinya dapat menggunakan API pada kategori ini pada versi Symbian OS yang sama.
4.4 (API) Symbian Opsional Tergantikan
Bentuk kategori ini mirip dengan kategori Symbian Opsional adalah kumpulan API yang tidak terikat dengan API umum yang ada pada versi Symbian OS dan dapat ditambahkan oleh pihak pengembang dengan suatu lisensi dari pihak Symbian.
Referensi:
Teknologi Masa Kini. "Perkembangan Teknologi Komunikasi dalam Ponsel kini" oleh Rizky Vanesha 4775. Tahun 2006.
Fragmentasi & Defragmentasi
Fragmentasi
- Definisi
Fragmentasi adalah kondisi dimana suatu file yang diletakkan pada media penyimpanan tidak menempati sektor secara berurutan.
- Kenapa Terjadi
Fragmentasi terjadi ketika sistem operasi tidak dapat mengalokasikan ruang yang cukup pada blok-blok penyimpanan yang bersebelahan untuk menyimpan file secara lengkap sebagai sebuah kesatuan. Hal ini terjadi karena kita sering kali melakukan penghapusan file lalu kita menambahkannya kembali dengan ukuran dan atau file yang tidak sama. Apa yang terjadi kemudian? Sistem akan menempatkan file pada blok pertama yang kosong, lalu berusaha mencari blok berikutnya yang tidak terisi oleh file lain untuk menempatkan sisa dari bagian file tersebut.
- Akibat? Efek?
Yang paling umum efek samping dari fragmentasi adalah perlambatan. Fragmentasi menyebabkan kemunduran dengan menyebabkan hard drive anda terlihat lebih penuh. Daripada itu komputer Anda harus mencari secara fisik hard drive setiap kali Anda meminta file atau mengakses data, dan semakin banyak ruang hard drive yang digunakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk komputer untuk mengambil file. Yang agak lebih serius efek samping adalah apa yang dikenal sebagai fragmentasi file. File fragmentasi adalah akibat langsung dari fragmentasi eksternal, dan terjadi ketika, selama proses pemindahan data dan ekspansi, program lain menulis informasi ke ruang yang sebelumnya disediakan untuk data sebelumnya. Hal ini menyebabkan file yang akan disimpan di lokasi yang berbeda karena kebutuhan, dan dapat menyebabkan kerusakan program, fungsi lambat atau tidak berfungsi sama sekali.
Defragmentasi
- Definisi
Defragmentasi adalah sebuah proses untuk menangani berkas-berkas yang mengalami fragmentasi internal. Sebuah berkas dikatakan terfragmentasi mana kala berkas tersebut tidak menempati ruangan yang saling berdekatan dalam penyimpanan fisik. Fragmentasi dapat menyebabkan subsistem media penyimpanan melakukan operasi pencarian data yang lebih banyak, sehingga dengan kata lain berkas terfragmentasi dapat memperlambat kerja sistem, khususnya pada saat melakukan operasi yang berkaitan dengan media penyimpanan.
- Nama-nama Software
Disk Defragmenter Tool -- Windows 7, Defraggler, Disk Defrag, MyDefrag, Defrag Professional, PerfectDisk 10, dan lain-lain.
- Definisi
Fragmentasi adalah kondisi dimana suatu file yang diletakkan pada media penyimpanan tidak menempati sektor secara berurutan.
- Kenapa Terjadi
Fragmentasi terjadi ketika sistem operasi tidak dapat mengalokasikan ruang yang cukup pada blok-blok penyimpanan yang bersebelahan untuk menyimpan file secara lengkap sebagai sebuah kesatuan. Hal ini terjadi karena kita sering kali melakukan penghapusan file lalu kita menambahkannya kembali dengan ukuran dan atau file yang tidak sama. Apa yang terjadi kemudian? Sistem akan menempatkan file pada blok pertama yang kosong, lalu berusaha mencari blok berikutnya yang tidak terisi oleh file lain untuk menempatkan sisa dari bagian file tersebut.
- Akibat? Efek?
Yang paling umum efek samping dari fragmentasi adalah perlambatan. Fragmentasi menyebabkan kemunduran dengan menyebabkan hard drive anda terlihat lebih penuh. Daripada itu komputer Anda harus mencari secara fisik hard drive setiap kali Anda meminta file atau mengakses data, dan semakin banyak ruang hard drive yang digunakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk komputer untuk mengambil file. Yang agak lebih serius efek samping adalah apa yang dikenal sebagai fragmentasi file. File fragmentasi adalah akibat langsung dari fragmentasi eksternal, dan terjadi ketika, selama proses pemindahan data dan ekspansi, program lain menulis informasi ke ruang yang sebelumnya disediakan untuk data sebelumnya. Hal ini menyebabkan file yang akan disimpan di lokasi yang berbeda karena kebutuhan, dan dapat menyebabkan kerusakan program, fungsi lambat atau tidak berfungsi sama sekali.
Defragmentasi
- Definisi
Defragmentasi adalah sebuah proses untuk menangani berkas-berkas yang mengalami fragmentasi internal. Sebuah berkas dikatakan terfragmentasi mana kala berkas tersebut tidak menempati ruangan yang saling berdekatan dalam penyimpanan fisik. Fragmentasi dapat menyebabkan subsistem media penyimpanan melakukan operasi pencarian data yang lebih banyak, sehingga dengan kata lain berkas terfragmentasi dapat memperlambat kerja sistem, khususnya pada saat melakukan operasi yang berkaitan dengan media penyimpanan.
- Nama-nama Software
Disk Defragmenter Tool -- Windows 7, Defraggler, Disk Defrag, MyDefrag, Defrag Professional, PerfectDisk 10, dan lain-lain.
Mengelola Resiko Operasional
1. Pengawasan aktif komisaris dan direksi
Tanggung jawab utama dari dewan komisaris dan dewan direksi adalah menetapkan jenis risiko yang mana harus dikelola oleh satuan kerja manajemen risiko mengingat kompleksitas bisnis mereka. Dewan komisaris dan dewan direksi harus juga menetapkan pembagian wewenang dan tanggung jawab manajemen risiko kepada dewan direksi dan manajemen.
Wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris dan dewan direksi meliputi:
• Menyetujui dan mengevaluasi kebijaka manajemen risiko
• Membagi tanggung jawab dari manajemen untuk melaksanakan kebijakan manajemen risiko.
• Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan khusus dewan komisaris.
Wewenang dan tanggung jawab manajemen harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Membuat dokumentasi yang menggambarkan strategi dan kebijakan manajemen risiko.
• Menerapkan dan mengelola manajemen risiko dalam batasan ‘risk appetite’ bank.
• Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan dari pejabat senior manajemen risiko.
• Mengembangkan budaya risiko dalam bank.
• Mengembangkan keahlian manajemen risiko untuk semua personil yang terkait.
• Memastikan bahwa manajemen risiko dan manajemen bisnis beroperasi secara independen.
• Melakukan review secara periodik terhadap:
Akurasi risk assessment atas suatu transaksi atau nasabah tertentu dibandingkan dengan kerugian yang terjadi (actual losses).
Akurasi dan kelengkapan informasi manajemen risiko dan kualitas sistem pendukungnya.
Kesesuaian penetapan limit risiko dan kualitas prosedur pendukung alokasi limit risiok tersebut yaitu apakah persoil yang tepat telah mendapatkan limit yang tepat untuk mengelola risiko yang merupakan tanggugn jawabnya.
• Menghitung dan melaporkan:
Keseluruhan risk appetite bank, yaitu jumlah total risiko yang akan diambil bank.
Keseluruhan risk profile bank, yaitu distribusi dari total risiko tersebut ke semua lini bisnis bank
Kemampuan bank untuk mengelola risiko tersebut dalam profil dan limit yang telah disetujui.
2. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit
Kebijakan manajemen risiko harus meliputi penilaian (assessment) terhadap risiko yang berhubungan dengan masing-masing produk dari transaksi. Penilaian tersebut meliputi:
• Metode yang cocok untuk mengukur risiko;
• Kecukupan informasi yang dibutuhkan untuk menilai risiko (diambil dari sistem informasi manajemen bank);
• Penetapan limit untuk total risiko, yang merupakan risk appetite;
• Proses penilaian risiko dalam bentuk ranking system, seperti credit grading process;
• Suatu penilaian terhadap ‘worst case scenario’ untuk risiko yang dihadapi bank;
• Memastikan adanya pengendalian yang tepat untuk semua risiko misalnya review secara rutin.
Dewan direksi dan senior manajemen harus membuat proses untuk membangun risk appetite bank, yang harus meliputi poses penetapan limit yang baik. Penetapan limit risko yang harus meliputi:
• Pendelegaian wewenang secara jelas dan tertulis untuk memastikan akuntabilitas individual wewenang tersebut harus didokumentasikan untuk setiap deskripsi kerja individual dan akan menjadi referensi silang (cross-referenced) kepada otoritas (supervisor) dalam bentuk daftar wewenang dari seluruh anggota dewan dan manajemen bank.
• Limit secara keseluruhan dan limit dalam periode waktu tertentu, di mana pada setiap kasus, limit tersebut harus didokumentasikan berdasarkan penetapan bertahap (ladder), misalkan limit suku bunga untuk kontrak forward.
• Dokumentasi keseluruhan untuk memastikan proses penilaian limit.
Limit risiko harus ditetapkan berdasarkan:
• Jumlah keseluruhan, yaitu risk appetite;
• Jenis risiko misalnya risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dsb.
• Fungsi mislanya treasury, manajemen cabang, manajemen risiko, anggota direksi.
3. Mengidentifikasi, mengukur dan memantau resiko operasional
Proses Identifikasi Risiko
Identifikasi faktor-faktor risiko biasanya dilakukan oleh unit manajemen risiko setelah melakukan konsultasi dengan trading department. Untuk melakukan identifikasi faktor-faktor risiko, unit manajemen risiko akan mencari harga penutupan harian yang independen untuk setiap faktor. Hal ini untuk memastikan bahwa revaluasi posisi bank ditetapkan secara independen.
Proses ini harus dilengkapi dengan analisis harian kinerja aktivitas trading untuk memastikan bahwa laporan rugi-laba konsisten dengan profil risiko bank.
Dewan direksi bank memiliki tugas umum untuk memastikan bahwa:
• Seluruh risiko harus diidentifikasikan;
• Seluruh risiko diukur, dipantau, dan dikendalikan;
• Pengukuran risiko didukung oleh informasi yang terkini (up to date), akurat, dan lengkap.
Implementasi, Pemantuan, Manajemen dan Kontrol
Proses analisis risiko harus mengidentifikasi seluruh karakteristik risiko bank (biasanya dimulai dengan membagi jenis bisnis yang diambil), sebagaimana risiko yang berhubungan dengan masing-masing produk dan aktivitas bisnis bank. Jadi, hal ini akan berhubungan dengan faktor risiko dan juga akan mempertimbangkan risiko-risiko lain (misal, performance risk dan confidentiality risk).
Dalam cakupan analisis risiko yang didasarkan pada produk dan bisnis, maka pengukuran risiko harus:
• dibuat dalam periode waktu;
• menyebutkan sumber data yang digunakan;
• menyebutkan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko;
• memiliki kemampuan untuk menunjukkan setiap perubahan yang terjadi pada profil risiko bank.
Proses monitoring risiko harus mengevaluasi seluruh eksposur risiko dan membuat proses pelaporan yang merefleksikan setiap perubahan profil risiko bank.
Proses manajemen risiko harus membuat struktur yang dapat mengelola setiap risiko yang diperkirakan akan menjadi ancaman potensial terhadap kelangsungan bisnis bank.
Pada akhirnya, proses mengontrol risiko harus meliputi proses asset & liability management (ALM) untuk manajemen:
• Risiko nilai tukar;
• Risiko suku bunga;
• Risiko likuiditas
Sistem Informasi
Chief Risk Officer harus secara teratur melakukan review atas laporan risiko yang dihasilkan oleh sistem manajemen risiko. Sistem informasi manajemen risiko harus mampu memberikan laporan:
• Seluruh eksposur risiko;
• Eksposur aktual dibandingkan dengan limit yang diterapkan;
• Outcome aktual karena mengambil suatu risiko misal kerugian dibandingkan dengan risk appetite.
Kontrol Internal
Dewan direksi harus memastikan bahwa bank mengimplementasikan sistem kontrol internal berdasarkan aktivitas bisnis terhadap operasi bank secara keseluruhan.
Sistem kontrol internal harus mampu mengidentifikasikan setiap kegagalan pengontrolan (pengendalian), serta deviasi dari kebijakan, prosedur, dan proses yang dimiliki bank. Sistem kontrol internal harus:
• Memenuhi Peraturan Bank Indonesia;
• Memenuhi aturan internal bank yang ditetapkan oleh dewan direksi dan manajemen;
• Menggunakan informasi finansial dalam proses pelaporan yang komprehensif, akurat dan up-to-date.
• Mampu mendukung manajemen dalam membuat keputusan untuk menerima atau menurunkan risiko.
• Membangun budaya pelaporan berbasis risiko di seluruh bank.
Peran Internal Audit
Internal audit merupakan seubah fungsi yang independen di bank. Tugas utamanya adalah melakuka penilaian berkelanjutan, melalui penyusunan laporan yang menganalisis metodologi, prosedur dan proses di dalam organisasi manajemen risiko bank. Dalam perannya ini, sudah umum apabila departemen audit internal mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Presiden Direktur bank, dan tidak kepada Chief Risk Officer.
Laporan tertulis audit internal biasanya harus mencakup:
• Kelayakan sistem kontrol internal bank terhadap jenis risiko yang dihadapi bank.
• Penilaian kepatutan terhadap kebijakan, prosedur dan limit yang disusun oleh bank dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai supervisor bank.
• Independensi fungsi manajemen risiko dari manajemen bisnis
• Struktur bank yang menunjukkan organisasi dan pemisahan yang jela antara garis komando/perintah dan pelaporan untuk manajemen risiko, manajemen bisnis, dan internal audit.
• Akurasi dan ketepatan waktu seluruh pelaporan keuangan dan pelaporan sistem informasi.
• Kepatuhan terhadap ketentuan wajib Bank Indonesia dan ketentuan lainnya.
• Independensi dan objektivitas dari fungsi manajemen risiko.
• Kecukupan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan bisnis oleh manajemen.
• Kecukupan dokumentasi untuk mendukung proses operasional biasanya melalui pembuatan mapping.
• Kualitas tanggapan manajemen dan jangka waktu pemberian tanggapan terhadap pertanyaan dari audit internal maupun eksternal.
• Kelemahan operasi bank dan tanggapan manajemen terhadap kelemahan tersebut.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Tanggung jawab utama dari dewan komisaris dan dewan direksi adalah menetapkan jenis risiko yang mana harus dikelola oleh satuan kerja manajemen risiko mengingat kompleksitas bisnis mereka. Dewan komisaris dan dewan direksi harus juga menetapkan pembagian wewenang dan tanggung jawab manajemen risiko kepada dewan direksi dan manajemen.
Wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris dan dewan direksi meliputi:
• Menyetujui dan mengevaluasi kebijaka manajemen risiko
• Membagi tanggung jawab dari manajemen untuk melaksanakan kebijakan manajemen risiko.
• Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan khusus dewan komisaris.
Wewenang dan tanggung jawab manajemen harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Membuat dokumentasi yang menggambarkan strategi dan kebijakan manajemen risiko.
• Menerapkan dan mengelola manajemen risiko dalam batasan ‘risk appetite’ bank.
• Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan dari pejabat senior manajemen risiko.
• Mengembangkan budaya risiko dalam bank.
• Mengembangkan keahlian manajemen risiko untuk semua personil yang terkait.
• Memastikan bahwa manajemen risiko dan manajemen bisnis beroperasi secara independen.
• Melakukan review secara periodik terhadap:
Akurasi risk assessment atas suatu transaksi atau nasabah tertentu dibandingkan dengan kerugian yang terjadi (actual losses).
Akurasi dan kelengkapan informasi manajemen risiko dan kualitas sistem pendukungnya.
Kesesuaian penetapan limit risiko dan kualitas prosedur pendukung alokasi limit risiok tersebut yaitu apakah persoil yang tepat telah mendapatkan limit yang tepat untuk mengelola risiko yang merupakan tanggugn jawabnya.
• Menghitung dan melaporkan:
Keseluruhan risk appetite bank, yaitu jumlah total risiko yang akan diambil bank.
Keseluruhan risk profile bank, yaitu distribusi dari total risiko tersebut ke semua lini bisnis bank
Kemampuan bank untuk mengelola risiko tersebut dalam profil dan limit yang telah disetujui.
2. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit
Kebijakan manajemen risiko harus meliputi penilaian (assessment) terhadap risiko yang berhubungan dengan masing-masing produk dari transaksi. Penilaian tersebut meliputi:
• Metode yang cocok untuk mengukur risiko;
• Kecukupan informasi yang dibutuhkan untuk menilai risiko (diambil dari sistem informasi manajemen bank);
• Penetapan limit untuk total risiko, yang merupakan risk appetite;
• Proses penilaian risiko dalam bentuk ranking system, seperti credit grading process;
• Suatu penilaian terhadap ‘worst case scenario’ untuk risiko yang dihadapi bank;
• Memastikan adanya pengendalian yang tepat untuk semua risiko misalnya review secara rutin.
Dewan direksi dan senior manajemen harus membuat proses untuk membangun risk appetite bank, yang harus meliputi poses penetapan limit yang baik. Penetapan limit risko yang harus meliputi:
• Pendelegaian wewenang secara jelas dan tertulis untuk memastikan akuntabilitas individual wewenang tersebut harus didokumentasikan untuk setiap deskripsi kerja individual dan akan menjadi referensi silang (cross-referenced) kepada otoritas (supervisor) dalam bentuk daftar wewenang dari seluruh anggota dewan dan manajemen bank.
• Limit secara keseluruhan dan limit dalam periode waktu tertentu, di mana pada setiap kasus, limit tersebut harus didokumentasikan berdasarkan penetapan bertahap (ladder), misalkan limit suku bunga untuk kontrak forward.
• Dokumentasi keseluruhan untuk memastikan proses penilaian limit.
Limit risiko harus ditetapkan berdasarkan:
• Jumlah keseluruhan, yaitu risk appetite;
• Jenis risiko misalnya risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dsb.
• Fungsi mislanya treasury, manajemen cabang, manajemen risiko, anggota direksi.
3. Mengidentifikasi, mengukur dan memantau resiko operasional
Proses Identifikasi Risiko
Identifikasi faktor-faktor risiko biasanya dilakukan oleh unit manajemen risiko setelah melakukan konsultasi dengan trading department. Untuk melakukan identifikasi faktor-faktor risiko, unit manajemen risiko akan mencari harga penutupan harian yang independen untuk setiap faktor. Hal ini untuk memastikan bahwa revaluasi posisi bank ditetapkan secara independen.
Proses ini harus dilengkapi dengan analisis harian kinerja aktivitas trading untuk memastikan bahwa laporan rugi-laba konsisten dengan profil risiko bank.
Dewan direksi bank memiliki tugas umum untuk memastikan bahwa:
• Seluruh risiko harus diidentifikasikan;
• Seluruh risiko diukur, dipantau, dan dikendalikan;
• Pengukuran risiko didukung oleh informasi yang terkini (up to date), akurat, dan lengkap.
Implementasi, Pemantuan, Manajemen dan Kontrol
Proses analisis risiko harus mengidentifikasi seluruh karakteristik risiko bank (biasanya dimulai dengan membagi jenis bisnis yang diambil), sebagaimana risiko yang berhubungan dengan masing-masing produk dan aktivitas bisnis bank. Jadi, hal ini akan berhubungan dengan faktor risiko dan juga akan mempertimbangkan risiko-risiko lain (misal, performance risk dan confidentiality risk).
Dalam cakupan analisis risiko yang didasarkan pada produk dan bisnis, maka pengukuran risiko harus:
• dibuat dalam periode waktu;
• menyebutkan sumber data yang digunakan;
• menyebutkan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko;
• memiliki kemampuan untuk menunjukkan setiap perubahan yang terjadi pada profil risiko bank.
Proses monitoring risiko harus mengevaluasi seluruh eksposur risiko dan membuat proses pelaporan yang merefleksikan setiap perubahan profil risiko bank.
Proses manajemen risiko harus membuat struktur yang dapat mengelola setiap risiko yang diperkirakan akan menjadi ancaman potensial terhadap kelangsungan bisnis bank.
Pada akhirnya, proses mengontrol risiko harus meliputi proses asset & liability management (ALM) untuk manajemen:
• Risiko nilai tukar;
• Risiko suku bunga;
• Risiko likuiditas
Sistem Informasi
Chief Risk Officer harus secara teratur melakukan review atas laporan risiko yang dihasilkan oleh sistem manajemen risiko. Sistem informasi manajemen risiko harus mampu memberikan laporan:
• Seluruh eksposur risiko;
• Eksposur aktual dibandingkan dengan limit yang diterapkan;
• Outcome aktual karena mengambil suatu risiko misal kerugian dibandingkan dengan risk appetite.
Kontrol Internal
Dewan direksi harus memastikan bahwa bank mengimplementasikan sistem kontrol internal berdasarkan aktivitas bisnis terhadap operasi bank secara keseluruhan.
Sistem kontrol internal harus mampu mengidentifikasikan setiap kegagalan pengontrolan (pengendalian), serta deviasi dari kebijakan, prosedur, dan proses yang dimiliki bank. Sistem kontrol internal harus:
• Memenuhi Peraturan Bank Indonesia;
• Memenuhi aturan internal bank yang ditetapkan oleh dewan direksi dan manajemen;
• Menggunakan informasi finansial dalam proses pelaporan yang komprehensif, akurat dan up-to-date.
• Mampu mendukung manajemen dalam membuat keputusan untuk menerima atau menurunkan risiko.
• Membangun budaya pelaporan berbasis risiko di seluruh bank.
Peran Internal Audit
Internal audit merupakan seubah fungsi yang independen di bank. Tugas utamanya adalah melakuka penilaian berkelanjutan, melalui penyusunan laporan yang menganalisis metodologi, prosedur dan proses di dalam organisasi manajemen risiko bank. Dalam perannya ini, sudah umum apabila departemen audit internal mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Presiden Direktur bank, dan tidak kepada Chief Risk Officer.
Laporan tertulis audit internal biasanya harus mencakup:
• Kelayakan sistem kontrol internal bank terhadap jenis risiko yang dihadapi bank.
• Penilaian kepatutan terhadap kebijakan, prosedur dan limit yang disusun oleh bank dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai supervisor bank.
• Independensi fungsi manajemen risiko dari manajemen bisnis
• Struktur bank yang menunjukkan organisasi dan pemisahan yang jela antara garis komando/perintah dan pelaporan untuk manajemen risiko, manajemen bisnis, dan internal audit.
• Akurasi dan ketepatan waktu seluruh pelaporan keuangan dan pelaporan sistem informasi.
• Kepatuhan terhadap ketentuan wajib Bank Indonesia dan ketentuan lainnya.
• Independensi dan objektivitas dari fungsi manajemen risiko.
• Kecukupan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan bisnis oleh manajemen.
• Kecukupan dokumentasi untuk mendukung proses operasional biasanya melalui pembuatan mapping.
• Kualitas tanggapan manajemen dan jangka waktu pemberian tanggapan terhadap pertanyaan dari audit internal maupun eksternal.
• Kelemahan operasi bank dan tanggapan manajemen terhadap kelemahan tersebut.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Banking Risk Assesment
1. Manajemen resiko dan risk assessment
Ketentuan umum tentang pelaksanaan manajemen risiko tertuang dalam ketentuan BI No. 5/8/PBI/2003: “Penetapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum”. Ketentuan tersebut menekankan pada risiko yang dihadapi bank dalam melakukan kegiatan bisnisnya dan struktur pengawasan yang diperlukan untuk mengelola risiko tersebut, yang meliputi:
• Identifikasi risiko,
• Pengukuran risiko,
• Pemantauan risiko,
• Pengendalian risiko.
Manajemen risiko yang terintegrasi mengharuskan bank untuk:
• Mengelola risiko-risiko dalam satu struktur manajemen risiko yang terintegrasi, dan
• Membangun sistem dan struktur manajemen yang memadai untuk mencapai hal tersebut.
Peraturan tersebut ditetapkan untuk bank umum, yang meliputi:
• Bank yang berbadan hukum PT,
• Bank yang dibentuk berdasarkan undang-undang pemerintah daerah (BPD)
• Bank yang didirikan dengan undang-undang koperasi
• Cabang dari bank asing.
Direksi setiap bank memiliki tugas untuk mengelola risiko secara efektif. Untuk itu dibutuhkan:
• Pengawasan aktif dewan komisaris, dewan direksi dan pejabat (staff) manajemen risiko terhadap risiko yang diambil oleh bank.
• Kebijakan dan prosedur untuk menetapkan limit dari risiko-risiko yang diambil bank.
• Prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko.
• Struktur manajemen informasi yang layak untuk mendukung manajemen risiko.
• Struktur pengendalian internal untuk mengelola risiko-risiko.
Struktur Manajemen Risiko
Direksi dan manajemen bank, yang secara formal bertanggung jawab atas penerapan atas kebijakan manajemen risiko yang efektif harus mempertimbangkan:
• sasaran dan kebijakan bank
• kompleksitas model bisnisnya
• kemampuan bak untuk mengelola bisnisnya
Bank Indonesia mengharapkan bank yang memiliki operasi bisnis yang sangat kompleks termasuk trading mata uang dan obligasi, kredit dalam valuta asing, dan sekuritasasi harus memiliki struktur manajemen risiko yang lebih kompleks dibandingkan bank yang secara relatif hanya memiliki bisnis tabungan dan pinjaman yang sederhana.
Struktur manajemen risiko harus didesain untuk memastikan bahwa unit pengambil risiko (risk-taking unit) bersifat independen dari unit audit internal dan juga independen dari departemen manajemen risiko.
2. Assessment terhadap resiko yang wajib dikelola bank
Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank memiliki struktur manajemen yang mencakup risiko-risiko sebagai berikut:
• Risiko pasar
• Risiko kredit
• Risiko operasional
• Risiko likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Jika bank memiliki model bisnis yang lebih kompleks, Bank Indonesia mewajibkan bank juga mengelola:
• Risiko hukum atau legal
• Risiko reputasi
• Risiko strategik
• Risiko kepatuhan yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Jika sebuah bank menderita kerugian sehubungan dengna adanya beberapa risiko yang telah dijelaskan tersebut, bank diharuskan untuk melakukan monitoring terhadap perilaku risiko tersebut di masa depan.
3. Assessment resiko kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang counterparty gagal memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut:
• Debitur tidak dapat melunasi utangnya;
• Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utang;
• Terjadinya gagal bayar (non-performance) dari semua kewajiban antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar kontrak derivatif.
4. Assessment resiko pasar
Karakteristik Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian dari posisi on dan off-balance sheet yang ditimbulkan dari pergerakan harga pasar. Risiko ini menimbulkan dampak pada bank yang memiliki posisi instrumen keuangan pada neracanya. Namun, risiko ini tidak menimbulkan dampak jika bank hanya bertindak sebagai intermediaries dalam suatu transaksi.
Risiko Pasar Terdiri Atas:
• Risiko spesifik (specific risk)
Risiko spesifik adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pada pasar sekuritas yang hanya dialami oleh penerbit dari sekuritas tersebut.
• Risiko pasar umum (general market risk)
Risiko pasar umum adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pasar sehingga berdampak pada seluruh pasar dan pada sejumlah instrumen.
General market risk terbagi menjadi empat kategori:
• Risiko suku bunga (interest rate risk)
• Risiko posisi saham (equity position risk)
• Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange risk)
• Risiko posisi komoditas (commodity position risk)
Perlu dicatat bahwa masing-masing kateogri risiko pasar umum tersebut tidak berdiri sendiri (mutually exclusive), melainkan satu risiko akan berdampak pada risiko yang lain. Misalkan, perubahan pada suku bunga akan berdampak pula pada perubahan posisi saham, dan seterusnya.
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah potensi kerugian karena adanay perubahan pergerakan arah suku bunga. Risiko ini akan mempengaruhi semua instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curves untuk menghitung satu nilai pasar. Timbulnya risiko suku bunga pada bank disebabkan oleh:
• Traded market risk
• Interest risk in the banking book
Traded market risk
Traded market risk adalah risiko kerugian dari nilai investasi sehubungan dengan pembelian dan penjualan instrumen keuangan di pasar secara terus-menerus (trading) dengan tujuan mencari keuntungan. Traded market risk erat kaitannya dengan tingkat risiko yang sengaja diambil untuk memperoleh profit yang diinginkan.
Contoh: perdagangan obligasi. Misalnya perdagangan obligasi pemerintah yang memiliki suku bunga tetap 12% untuk jangka waktu tiga tahun. Nilai obligasi tersebut akan terpengaruh oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai obligasi akan naik. Jika suku bunga naik, nilai obligasi akan turun.
Keputusan pendanaan (funding decision) untuk pembelian obligasi tersebut, antara lain:
• Matched (obligasi dan pendanaan berdurasi sama)
• Long funding (pendanaan jangka panjang)
• Short funding (pendanaan jangka pendek)
5. Assessment resiko likuiditas
Risiko likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
6. Assessment resiko operasional
Risiko operasional didefenisikan dalam Basel II sebagai risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidakcukupan karena tidak memadainya proses internal, manusia, dan sistem atau dari kejadian eksternal. Risiko operasional bukanlah risiko yang baru (sudah ada sejak bank mulai beroperasi), dan juga bukan suatu risiko yang unik bagi bank. Risiko ini akan memberikan dampak kepada seluruh bisnis bank karena risiko operasional adalah risiko yang melekat di dalam bank ketika melakukan proses operasional sehari-hari.
7. Assessment resiko hukum
Risiko hukum adalah risiko yang timbul karena ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam mengelola munculnya permasalahan hukum yang dapat menimbulkan kerugian atau kebangkrutan bagi perusahaan. Risiko hukum antara lain dapat bersumber dari pada operasional, perjanjian dengan pihak ketiga, ketidakpastian hukum dan kelalaian penerapan hukum, hambatan dalam proses litigasi untuk penyelesaian klaim, serta masalah yurisdiksi antar negara.
Referensi:
http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_hukum
Ketentuan umum tentang pelaksanaan manajemen risiko tertuang dalam ketentuan BI No. 5/8/PBI/2003: “Penetapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum”. Ketentuan tersebut menekankan pada risiko yang dihadapi bank dalam melakukan kegiatan bisnisnya dan struktur pengawasan yang diperlukan untuk mengelola risiko tersebut, yang meliputi:
• Identifikasi risiko,
• Pengukuran risiko,
• Pemantauan risiko,
• Pengendalian risiko.
Manajemen risiko yang terintegrasi mengharuskan bank untuk:
• Mengelola risiko-risiko dalam satu struktur manajemen risiko yang terintegrasi, dan
• Membangun sistem dan struktur manajemen yang memadai untuk mencapai hal tersebut.
Peraturan tersebut ditetapkan untuk bank umum, yang meliputi:
• Bank yang berbadan hukum PT,
• Bank yang dibentuk berdasarkan undang-undang pemerintah daerah (BPD)
• Bank yang didirikan dengan undang-undang koperasi
• Cabang dari bank asing.
Direksi setiap bank memiliki tugas untuk mengelola risiko secara efektif. Untuk itu dibutuhkan:
• Pengawasan aktif dewan komisaris, dewan direksi dan pejabat (staff) manajemen risiko terhadap risiko yang diambil oleh bank.
• Kebijakan dan prosedur untuk menetapkan limit dari risiko-risiko yang diambil bank.
• Prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko.
• Struktur manajemen informasi yang layak untuk mendukung manajemen risiko.
• Struktur pengendalian internal untuk mengelola risiko-risiko.
Struktur Manajemen Risiko
Direksi dan manajemen bank, yang secara formal bertanggung jawab atas penerapan atas kebijakan manajemen risiko yang efektif harus mempertimbangkan:
• sasaran dan kebijakan bank
• kompleksitas model bisnisnya
• kemampuan bak untuk mengelola bisnisnya
Bank Indonesia mengharapkan bank yang memiliki operasi bisnis yang sangat kompleks termasuk trading mata uang dan obligasi, kredit dalam valuta asing, dan sekuritasasi harus memiliki struktur manajemen risiko yang lebih kompleks dibandingkan bank yang secara relatif hanya memiliki bisnis tabungan dan pinjaman yang sederhana.
Struktur manajemen risiko harus didesain untuk memastikan bahwa unit pengambil risiko (risk-taking unit) bersifat independen dari unit audit internal dan juga independen dari departemen manajemen risiko.
2. Assessment terhadap resiko yang wajib dikelola bank
Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank memiliki struktur manajemen yang mencakup risiko-risiko sebagai berikut:
• Risiko pasar
• Risiko kredit
• Risiko operasional
• Risiko likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Jika bank memiliki model bisnis yang lebih kompleks, Bank Indonesia mewajibkan bank juga mengelola:
• Risiko hukum atau legal
• Risiko reputasi
• Risiko strategik
• Risiko kepatuhan yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Jika sebuah bank menderita kerugian sehubungan dengna adanya beberapa risiko yang telah dijelaskan tersebut, bank diharuskan untuk melakukan monitoring terhadap perilaku risiko tersebut di masa depan.
3. Assessment resiko kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang counterparty gagal memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut:
• Debitur tidak dapat melunasi utangnya;
• Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utang;
• Terjadinya gagal bayar (non-performance) dari semua kewajiban antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar kontrak derivatif.
4. Assessment resiko pasar
Karakteristik Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian dari posisi on dan off-balance sheet yang ditimbulkan dari pergerakan harga pasar. Risiko ini menimbulkan dampak pada bank yang memiliki posisi instrumen keuangan pada neracanya. Namun, risiko ini tidak menimbulkan dampak jika bank hanya bertindak sebagai intermediaries dalam suatu transaksi.
Risiko Pasar Terdiri Atas:
• Risiko spesifik (specific risk)
Risiko spesifik adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pada pasar sekuritas yang hanya dialami oleh penerbit dari sekuritas tersebut.
• Risiko pasar umum (general market risk)
Risiko pasar umum adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pasar sehingga berdampak pada seluruh pasar dan pada sejumlah instrumen.
General market risk terbagi menjadi empat kategori:
• Risiko suku bunga (interest rate risk)
• Risiko posisi saham (equity position risk)
• Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange risk)
• Risiko posisi komoditas (commodity position risk)
Perlu dicatat bahwa masing-masing kateogri risiko pasar umum tersebut tidak berdiri sendiri (mutually exclusive), melainkan satu risiko akan berdampak pada risiko yang lain. Misalkan, perubahan pada suku bunga akan berdampak pula pada perubahan posisi saham, dan seterusnya.
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah potensi kerugian karena adanay perubahan pergerakan arah suku bunga. Risiko ini akan mempengaruhi semua instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curves untuk menghitung satu nilai pasar. Timbulnya risiko suku bunga pada bank disebabkan oleh:
• Traded market risk
• Interest risk in the banking book
Traded market risk
Traded market risk adalah risiko kerugian dari nilai investasi sehubungan dengan pembelian dan penjualan instrumen keuangan di pasar secara terus-menerus (trading) dengan tujuan mencari keuntungan. Traded market risk erat kaitannya dengan tingkat risiko yang sengaja diambil untuk memperoleh profit yang diinginkan.
Contoh: perdagangan obligasi. Misalnya perdagangan obligasi pemerintah yang memiliki suku bunga tetap 12% untuk jangka waktu tiga tahun. Nilai obligasi tersebut akan terpengaruh oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai obligasi akan naik. Jika suku bunga naik, nilai obligasi akan turun.
Keputusan pendanaan (funding decision) untuk pembelian obligasi tersebut, antara lain:
• Matched (obligasi dan pendanaan berdurasi sama)
• Long funding (pendanaan jangka panjang)
• Short funding (pendanaan jangka pendek)
5. Assessment resiko likuiditas
Risiko likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
6. Assessment resiko operasional
Risiko operasional didefenisikan dalam Basel II sebagai risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidakcukupan karena tidak memadainya proses internal, manusia, dan sistem atau dari kejadian eksternal. Risiko operasional bukanlah risiko yang baru (sudah ada sejak bank mulai beroperasi), dan juga bukan suatu risiko yang unik bagi bank. Risiko ini akan memberikan dampak kepada seluruh bisnis bank karena risiko operasional adalah risiko yang melekat di dalam bank ketika melakukan proses operasional sehari-hari.
7. Assessment resiko hukum
Risiko hukum adalah risiko yang timbul karena ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam mengelola munculnya permasalahan hukum yang dapat menimbulkan kerugian atau kebangkrutan bagi perusahaan. Risiko hukum antara lain dapat bersumber dari pada operasional, perjanjian dengan pihak ketiga, ketidakpastian hukum dan kelalaian penerapan hukum, hambatan dalam proses litigasi untuk penyelesaian klaim, serta masalah yurisdiksi antar negara.
Referensi:
http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_hukum
Regulasi PILAR Basel ; PILAR 2 dan PILAR 3
1. PILAR 2 – tinjauan pengawasan terhadap resiko lainnya
Pilar 2 bertujuan untk menformalkan praktik yang sudah dilakukan oleh banyak regulator, dan sangat mirip dengan pendekatan risk based supervision yang dilakukan oleh Federal Reserve Board (USA), dan the Financial Services Authority (UK). Supervisory review didesain untuk memberi perhatian pada setiap persyaratan modal yang melebihi tingkat minimum yang dihitung berdasarkan Pilar 1 dan tindakan dini yang diperlukan untuk mengatasi risiko yang baru muncul.
Supervisory review merupakan hal yang penting untuk memastikan kepatuhan atas persyaratan modal minimum dan untuk mendorong bank mengembangkan serta menggunakan teknik manajemen risiko yang terbaik. Pilar 2 menetapkan prinsip-prinsip dari proses supervisory review yang harus digunakan untuk supervisor dalam melakukan evaluasi kecukupan modal bank.
Pilar 2 juga membahas tiga area utama di luar cakupan Pilar 1, yaitu:
• Risiko yang tidak sepenuhnya dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko konsentrasi kredit);
• Risiko yang sama sekali tidak dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko suku bunga dalam banking book);
• Faktor-faktor eksternal terhadap bank (antara lain pengaruh siklus bisnis).
Proses Assessment Modal
Assessment modal adalah proses yang berkelanjutan dan merupakan bagian integral dari aktivitas pengelolaan bisnis bank.
Proses ini tidak hanya mengevaluasi modal saat ini, tetapi juga melakukan estimasi modal di masa depan. Manajemen bank akan menggunakan estimasi modal pada setiap lini bisnisnya untuk menetapkan modal bank keseluruhan. Selain itu, manajemen bank juga akan memonitor modal saat ini (actual0 terhadap target, sebagai bagian dari pengawasan operasional bank.
Dewan direksi dan manajemen senior bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan kecukupan modal termasuk yang tidak tercakup dalam Pilar 1. Manajemen bank bertanggung jawab mengembangkan proses assessment modal, di mana proses tersebut mengevaluasi risiko dan sistem pengendalian risiko di seluruh bagian bank.
Mekanisme untuk Memastikan Kualitas Proses Assessment Modal
Kualitas dari proses assessment modal akan dievaluasi oleh supervisor. Evaluasi ini, dikombinasikan dengan faktor-faktor lainnya, akan menjadi dasar penetapan rasio modal bank.
Jika proses tersebut dianggap tidak berkualitas, maka rasio modal akan ditetapkan lebih tinggi. Rasio modal yang lebih tinggi akan mengurangi tingkat aktivitas bisnis, dan akan mengakibatkan turunnya laba bank. Akibatnya, bank akan berusaha mengembangkan dan menjaga proses assessment modal yang berkualitas tinggi (artinya, mekanisme ini memiliki insentif komersial dan juga prudensial). Mekanisme tersebut adalah faktor kunci dalam proses supervisory review, karena hal ini memastikan bahwa proses pemenuhan regulasi adalah bagian integral dari pengelolaan bank.
Namun perlu dicatat, bahwa kenaikan modal bukan merupakan subtitusi untuk memperbaiki ketidakcukupan atua kegagalan proses assessment. Meskipun supervisor dapat menetapkan rasio modal yang lebih tinggi mereka juga dapat menggunakan cara perbaikan lain yaitu:
• Menetapkan target untuk perbaikan struktur manajemen risiko;
• Memperkenalkan prosedur internal yang lebih ketat;
• Memperbaiki kualitas karyawan melalui training dan rekrutmen;
Dalam kasus yang ekstrem, supervisor dapat mengurangi tingkat risiko atau aktivitas bisnis, sampai permasalahan diselesaikan atau dapat dikendalikan. Misalkan, supervisor dapat memaksa bank untuk keluar dari pasar tertentu sampai situasi dapat diatasi.
BCBS melihat proses supervisory review sebagai dialog aktif antara bank dengan supervisor. Dengan demikian, permasalahan yang timbul dapat diidentifikasi dan dapat ditindak lanjuti dengan cepat untuk memulihkan posisi modal bank sampai pada tingkat yang memuaskan.
Empat Prinsip Penting Pengawasan
BCBS menetapkan 25 prinsip utama pengawasan dalam “Core Principles for Effective Banking Supervision”, yang dikeluarkan pada September 1997. Pilar 2 mengidentifikasikan empat (4) prinsip penting supervisory review sebagai pelengkap 25 prinsip utama. Prinsip-prinsip utama (25 prinsip) meliputi 7 hal sebagai berikut:
• Prakondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif,
• Izin dan struktur,
• Peraturan yang prudent,
• Metode Pengawasan perbankan yang berkelanjutan,
• Persyaratan informasi,
• Kekuasaan formal (formal powers)
• Perbankan antarnegara (cross-border banking).
Prinsip 1: Bank harus memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan dalam hubungannya dengan profil risiko dan strategi untuk menjaga tingkat modal. Manajemen bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang cukup untuk memenuhi kewajibannya sekarang dan masa yang akan datang. Target modal harus ditetapkan dengan integritas dan harus konsisten dengan profil risiko dan situasinya. Target harus menjadi bagian integral dari rencana strategis bank dan harus mencakup stress testing.
Basel II memberikan gambaran lima ciri khas dari suatu proses penilaian modal yang mendalam, yaitu:
1. Pengawasan dewan dan manajemen senior,
2. Assessment modal yang baik,
3. Assessment risiko yang komprenhensif,
4. Monitoring dan pelaporan,
5. Review dan kontrol internal.
Prinsip 2: Pengawas (supervisor) harus melakukan review dan mengevaluasi bank dalam melakukan assessment dan strategi kecukupan modal bank, serta mengevaluasi kemampuan bank memonitor dan memastikan kepatuhan mereka terhadap rasio modal. Pengawas harus melakukan tindakan pengawasan yang tepat jika tidak puas dengan hasil dari proses tersebut. Proses supervisory review secara berkala harus:
• Memeriksa perhitungan eksposur risiko dna transaksi risiko tersebut ke dalam modal yang dipersyaratkan;
• Fokus pada kualitas dari proses dan kualitas dari kontrol internal atas proses tersebut;
• Memeriksa framework dari assessment model untuk mengidentifikasi setiap kelemahan atau kekurangan;
• Tidak memberikan rekomendasi terhadap struktur dari framework karena ini adalah tugas dari manajemen bank.
Proses review dapat mencakup kombinasi dari beberapa metode pengumpulan informasi berikut:
• On-site visits (kunjungan ke bank)
• Off-site review (review tanpa kunjungan ke bank)
• Pertemuan dengan manajemen bank
• Melakukan review perkerjaan yang relavan yang dilakukan oleh auditor eksternal
• Monitoring atas laporan rutin
Prinsip 3: Pengawas hars meminta bank untuk beroperasi di atas rasio modal minimum dan harus memiliki kemampuan untuk meminta bank memiliki modal di atas minimum.
Prinsip 4: Pengawas harus melakukan intervensi dini untuk mencegah modal menurun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan dan harus meminta tindakan pemulihan yang segera apabila modal tidak dijaga atau dipulihkan. Jika bank gagal untuk menjaga modal yang dipersyaratkan, pengawas dapat menggunakan wewenangnya untuk memperbaiki keadaan. Pengawas dapat meminta peningkatan modal bank sebagai ukuran jangka pendek sambil menunggu permasalahan diatasi. Peningkatan modal akan dibatalkan jika pengawas merasa puas terhadap bank yang telah mampu mengatasi permasalahannya.
2. PILAR 3 – Keterbukaan
Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar (market discipline). Disiplin pasar, menurut BIS (The Book for International Settlements), adalah mekanisme governance baik internal maupun eksternal dalam perekonomian pasar bebas di mana terjadi kekosongan intervensi pemerintah secara langsung.
Pilar 3:
• Mencakup apa saja yang akan dipersyaratkan dalam pengungkapan bank kepada publik;
• Didesain untuk membantu pemegang saham dan analis;
• Mengarahkan ke perbaikan transparansi pada isu-isu portofolio aset bank dan profil risiko bank.
Sifat Disclosure
Disclosure adalah penyebaran informasi yang material kepada masyarakat luas untuk mengevaluasi bisnis perusahaan. Pada umumnya disclosure dipandang penting karena akan memberikan informasi yang relevan kepada investor maupun calon investor mengenai kinerja perusahaan, baik saat ini maupun di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal harus memenuhi persyaratan disclosure yang lebih berat dibandingkan dengan perusahaan yagn dimiliki perorangan.
Pada tahun-tahun terakhir ini, disclosure semakin dipandang sebagai mekanisme penting untuk menyampaikan atau mewujudkan isu-isu kebijakan publik, seperti:
• Melakukan perbaikan corporate governance sebagai rekasi atas kasus skandal enron & Worldcom yang terjadi di Amerika Seriakt dan Parmalat di Italia
• Memperbaiki transparansi dari kebijakan perusahaan yang memberikan dampak kepada kebijakan publik seperti isu-isu kesenjangan sosial, keberagaman ras, lingkungan, dan isu konservasi.
Laporan Keuangan
Pada umumnya, perusahaan (baik perusahaan publik maupun keluarga) diminta untuk menerbitkan laporan keuangan (misalnya laporan rugi laba, neraca, laporan pajak). Laporan keuangan tersebut harus ditandatangani oleh auditor eksternal dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi nasional atau jika dimungkinkan, sesuai International Accounting Standard.
Persyaratan Otoritas Pasar Modal
Bagi perusahaan yang telah tercatat di bursa, mereka harus mematuhi keterbukaan tersebut sesuai ketentuan pasar modal yang berlaku. Ketentuan listing mengharuskan publikasi atas laporan yang beragam dikenal sebagai fillings. Otoritas pasar modal adalah lembaga yang sangat memperhatikan kepentingan pemegang saham, dan pada umumnya fillings memuat informasi keuangan yang sangat detail. Otoritas pasar modal tidak hanya membuat ketentuan sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk melaksanakan keterbukaan yang dipersyaratkan oleh regulator lainnya.
Perundang-Undangan
Contoh yang paling baik adalah diundangkannya US Sarbanes-Oxley Act 2002 yang memperkenalkan persyaratan wajib untuk akuntabilitas perusahaan. Salah satu persyaratan adalah chief executive dan chief financial officer dari perusahaan yang listing di pasar modal US harus menyatakan kebenaran atas laporan keuangannya secara terbuka kepada publik. Bab 404 dari UU tersebut juga mensyaratkan keterbukaan atas dokumentasi, pengujian dan verifikasi dari auditor eksternal atas kualitas dari kontrol internal perusahaan terhadap laporan keuangannya.
UU ini dilaksanakan melalui SEC (the Securities and Exchange Commission), otoritas pasar modal Amerika Serikat.
Sudut Pandang Manajemen Perusahaan
Merupakan suatu hal yang penting untuk melihat bagaimana dewan direksi dan manajemen senior memilih untuk melaporkan seluruh aktivitasnya kepada stakeholder. Hal ini secara signifikan akan menunjukkan bagaimana perusahaan dijalankan. Laporan tersebut menunjukkan prioritas, kebijakan, dan bagaimana kinerja perusahaan dari sudut pandang dewan direksinya. Inilah mengapa bank-bank besar di dunia menetapkan standar pelaporan yang tinggi tentang bagaimana perusahaan dikelola.
Isu-Isu Lainnya
Di beberapa negara, seperti Inggris, peraturan untuk keterbukaan perusahaan relatif lebih jelas. Selain meliputi laporan keuangan peraturan menfokuskan pada kode etik (codes of practice) (misalnya The Combined Code, dan prinsip-prinsip disclosure). Ada berbagai perusahaan lainnya, tidak hanya di Inggris, yang diwajibkan dan melaksanakan disclosure yang meliputi isu-isu seperti keberagaman lingkungan, persamaan hak, dan afiliasi politik.
Disclosure adalah isu yang luas. Aspek-aspek disclosure yang dicakup dalam Basel II hanyalah bagian dari disclosure yang harus dilakukan bank sebagai bagian dari aspek hukum dan kewajiban terhadap peraturan. Pengungkapan atas kinerja operasional perusahaan (meliputi seluruh kebijakan dan prosedur), didesain untuk memberikan informasi kepada para investor dan analis. Hal ini memungkinkan mereka mengambil kesimpulan terhadap prospek perusahaan saat ini dan masa depan.
Akhir-akhir ini, disclosure digunakan lebih jauh untuk kebijakan sosial lainnya, yaitu lebih memperhatikan sudut pandang stakeholder, daripada hanya pemegang saham, dalam melihat kinerja perusahaan.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Pilar 2 bertujuan untk menformalkan praktik yang sudah dilakukan oleh banyak regulator, dan sangat mirip dengan pendekatan risk based supervision yang dilakukan oleh Federal Reserve Board (USA), dan the Financial Services Authority (UK). Supervisory review didesain untuk memberi perhatian pada setiap persyaratan modal yang melebihi tingkat minimum yang dihitung berdasarkan Pilar 1 dan tindakan dini yang diperlukan untuk mengatasi risiko yang baru muncul.
Supervisory review merupakan hal yang penting untuk memastikan kepatuhan atas persyaratan modal minimum dan untuk mendorong bank mengembangkan serta menggunakan teknik manajemen risiko yang terbaik. Pilar 2 menetapkan prinsip-prinsip dari proses supervisory review yang harus digunakan untuk supervisor dalam melakukan evaluasi kecukupan modal bank.
Pilar 2 juga membahas tiga area utama di luar cakupan Pilar 1, yaitu:
• Risiko yang tidak sepenuhnya dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko konsentrasi kredit);
• Risiko yang sama sekali tidak dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko suku bunga dalam banking book);
• Faktor-faktor eksternal terhadap bank (antara lain pengaruh siklus bisnis).
Proses Assessment Modal
Assessment modal adalah proses yang berkelanjutan dan merupakan bagian integral dari aktivitas pengelolaan bisnis bank.
Proses ini tidak hanya mengevaluasi modal saat ini, tetapi juga melakukan estimasi modal di masa depan. Manajemen bank akan menggunakan estimasi modal pada setiap lini bisnisnya untuk menetapkan modal bank keseluruhan. Selain itu, manajemen bank juga akan memonitor modal saat ini (actual0 terhadap target, sebagai bagian dari pengawasan operasional bank.
Dewan direksi dan manajemen senior bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan kecukupan modal termasuk yang tidak tercakup dalam Pilar 1. Manajemen bank bertanggung jawab mengembangkan proses assessment modal, di mana proses tersebut mengevaluasi risiko dan sistem pengendalian risiko di seluruh bagian bank.
Mekanisme untuk Memastikan Kualitas Proses Assessment Modal
Kualitas dari proses assessment modal akan dievaluasi oleh supervisor. Evaluasi ini, dikombinasikan dengan faktor-faktor lainnya, akan menjadi dasar penetapan rasio modal bank.
Jika proses tersebut dianggap tidak berkualitas, maka rasio modal akan ditetapkan lebih tinggi. Rasio modal yang lebih tinggi akan mengurangi tingkat aktivitas bisnis, dan akan mengakibatkan turunnya laba bank. Akibatnya, bank akan berusaha mengembangkan dan menjaga proses assessment modal yang berkualitas tinggi (artinya, mekanisme ini memiliki insentif komersial dan juga prudensial). Mekanisme tersebut adalah faktor kunci dalam proses supervisory review, karena hal ini memastikan bahwa proses pemenuhan regulasi adalah bagian integral dari pengelolaan bank.
Namun perlu dicatat, bahwa kenaikan modal bukan merupakan subtitusi untuk memperbaiki ketidakcukupan atua kegagalan proses assessment. Meskipun supervisor dapat menetapkan rasio modal yang lebih tinggi mereka juga dapat menggunakan cara perbaikan lain yaitu:
• Menetapkan target untuk perbaikan struktur manajemen risiko;
• Memperkenalkan prosedur internal yang lebih ketat;
• Memperbaiki kualitas karyawan melalui training dan rekrutmen;
Dalam kasus yang ekstrem, supervisor dapat mengurangi tingkat risiko atau aktivitas bisnis, sampai permasalahan diselesaikan atau dapat dikendalikan. Misalkan, supervisor dapat memaksa bank untuk keluar dari pasar tertentu sampai situasi dapat diatasi.
BCBS melihat proses supervisory review sebagai dialog aktif antara bank dengan supervisor. Dengan demikian, permasalahan yang timbul dapat diidentifikasi dan dapat ditindak lanjuti dengan cepat untuk memulihkan posisi modal bank sampai pada tingkat yang memuaskan.
Empat Prinsip Penting Pengawasan
BCBS menetapkan 25 prinsip utama pengawasan dalam “Core Principles for Effective Banking Supervision”, yang dikeluarkan pada September 1997. Pilar 2 mengidentifikasikan empat (4) prinsip penting supervisory review sebagai pelengkap 25 prinsip utama. Prinsip-prinsip utama (25 prinsip) meliputi 7 hal sebagai berikut:
• Prakondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif,
• Izin dan struktur,
• Peraturan yang prudent,
• Metode Pengawasan perbankan yang berkelanjutan,
• Persyaratan informasi,
• Kekuasaan formal (formal powers)
• Perbankan antarnegara (cross-border banking).
Prinsip 1: Bank harus memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan dalam hubungannya dengan profil risiko dan strategi untuk menjaga tingkat modal. Manajemen bank memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang cukup untuk memenuhi kewajibannya sekarang dan masa yang akan datang. Target modal harus ditetapkan dengan integritas dan harus konsisten dengan profil risiko dan situasinya. Target harus menjadi bagian integral dari rencana strategis bank dan harus mencakup stress testing.
Basel II memberikan gambaran lima ciri khas dari suatu proses penilaian modal yang mendalam, yaitu:
1. Pengawasan dewan dan manajemen senior,
2. Assessment modal yang baik,
3. Assessment risiko yang komprenhensif,
4. Monitoring dan pelaporan,
5. Review dan kontrol internal.
Prinsip 2: Pengawas (supervisor) harus melakukan review dan mengevaluasi bank dalam melakukan assessment dan strategi kecukupan modal bank, serta mengevaluasi kemampuan bank memonitor dan memastikan kepatuhan mereka terhadap rasio modal. Pengawas harus melakukan tindakan pengawasan yang tepat jika tidak puas dengan hasil dari proses tersebut. Proses supervisory review secara berkala harus:
• Memeriksa perhitungan eksposur risiko dna transaksi risiko tersebut ke dalam modal yang dipersyaratkan;
• Fokus pada kualitas dari proses dan kualitas dari kontrol internal atas proses tersebut;
• Memeriksa framework dari assessment model untuk mengidentifikasi setiap kelemahan atau kekurangan;
• Tidak memberikan rekomendasi terhadap struktur dari framework karena ini adalah tugas dari manajemen bank.
Proses review dapat mencakup kombinasi dari beberapa metode pengumpulan informasi berikut:
• On-site visits (kunjungan ke bank)
• Off-site review (review tanpa kunjungan ke bank)
• Pertemuan dengan manajemen bank
• Melakukan review perkerjaan yang relavan yang dilakukan oleh auditor eksternal
• Monitoring atas laporan rutin
Prinsip 3: Pengawas hars meminta bank untuk beroperasi di atas rasio modal minimum dan harus memiliki kemampuan untuk meminta bank memiliki modal di atas minimum.
Prinsip 4: Pengawas harus melakukan intervensi dini untuk mencegah modal menurun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan dan harus meminta tindakan pemulihan yang segera apabila modal tidak dijaga atau dipulihkan. Jika bank gagal untuk menjaga modal yang dipersyaratkan, pengawas dapat menggunakan wewenangnya untuk memperbaiki keadaan. Pengawas dapat meminta peningkatan modal bank sebagai ukuran jangka pendek sambil menunggu permasalahan diatasi. Peningkatan modal akan dibatalkan jika pengawas merasa puas terhadap bank yang telah mampu mengatasi permasalahannya.
2. PILAR 3 – Keterbukaan
Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar (market discipline). Disiplin pasar, menurut BIS (The Book for International Settlements), adalah mekanisme governance baik internal maupun eksternal dalam perekonomian pasar bebas di mana terjadi kekosongan intervensi pemerintah secara langsung.
Pilar 3:
• Mencakup apa saja yang akan dipersyaratkan dalam pengungkapan bank kepada publik;
• Didesain untuk membantu pemegang saham dan analis;
• Mengarahkan ke perbaikan transparansi pada isu-isu portofolio aset bank dan profil risiko bank.
Sifat Disclosure
Disclosure adalah penyebaran informasi yang material kepada masyarakat luas untuk mengevaluasi bisnis perusahaan. Pada umumnya disclosure dipandang penting karena akan memberikan informasi yang relevan kepada investor maupun calon investor mengenai kinerja perusahaan, baik saat ini maupun di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal harus memenuhi persyaratan disclosure yang lebih berat dibandingkan dengan perusahaan yagn dimiliki perorangan.
Pada tahun-tahun terakhir ini, disclosure semakin dipandang sebagai mekanisme penting untuk menyampaikan atau mewujudkan isu-isu kebijakan publik, seperti:
• Melakukan perbaikan corporate governance sebagai rekasi atas kasus skandal enron & Worldcom yang terjadi di Amerika Seriakt dan Parmalat di Italia
• Memperbaiki transparansi dari kebijakan perusahaan yang memberikan dampak kepada kebijakan publik seperti isu-isu kesenjangan sosial, keberagaman ras, lingkungan, dan isu konservasi.
Laporan Keuangan
Pada umumnya, perusahaan (baik perusahaan publik maupun keluarga) diminta untuk menerbitkan laporan keuangan (misalnya laporan rugi laba, neraca, laporan pajak). Laporan keuangan tersebut harus ditandatangani oleh auditor eksternal dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi nasional atau jika dimungkinkan, sesuai International Accounting Standard.
Persyaratan Otoritas Pasar Modal
Bagi perusahaan yang telah tercatat di bursa, mereka harus mematuhi keterbukaan tersebut sesuai ketentuan pasar modal yang berlaku. Ketentuan listing mengharuskan publikasi atas laporan yang beragam dikenal sebagai fillings. Otoritas pasar modal adalah lembaga yang sangat memperhatikan kepentingan pemegang saham, dan pada umumnya fillings memuat informasi keuangan yang sangat detail. Otoritas pasar modal tidak hanya membuat ketentuan sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk melaksanakan keterbukaan yang dipersyaratkan oleh regulator lainnya.
Perundang-Undangan
Contoh yang paling baik adalah diundangkannya US Sarbanes-Oxley Act 2002 yang memperkenalkan persyaratan wajib untuk akuntabilitas perusahaan. Salah satu persyaratan adalah chief executive dan chief financial officer dari perusahaan yang listing di pasar modal US harus menyatakan kebenaran atas laporan keuangannya secara terbuka kepada publik. Bab 404 dari UU tersebut juga mensyaratkan keterbukaan atas dokumentasi, pengujian dan verifikasi dari auditor eksternal atas kualitas dari kontrol internal perusahaan terhadap laporan keuangannya.
UU ini dilaksanakan melalui SEC (the Securities and Exchange Commission), otoritas pasar modal Amerika Serikat.
Sudut Pandang Manajemen Perusahaan
Merupakan suatu hal yang penting untuk melihat bagaimana dewan direksi dan manajemen senior memilih untuk melaporkan seluruh aktivitasnya kepada stakeholder. Hal ini secara signifikan akan menunjukkan bagaimana perusahaan dijalankan. Laporan tersebut menunjukkan prioritas, kebijakan, dan bagaimana kinerja perusahaan dari sudut pandang dewan direksinya. Inilah mengapa bank-bank besar di dunia menetapkan standar pelaporan yang tinggi tentang bagaimana perusahaan dikelola.
Isu-Isu Lainnya
Di beberapa negara, seperti Inggris, peraturan untuk keterbukaan perusahaan relatif lebih jelas. Selain meliputi laporan keuangan peraturan menfokuskan pada kode etik (codes of practice) (misalnya The Combined Code, dan prinsip-prinsip disclosure). Ada berbagai perusahaan lainnya, tidak hanya di Inggris, yang diwajibkan dan melaksanakan disclosure yang meliputi isu-isu seperti keberagaman lingkungan, persamaan hak, dan afiliasi politik.
Disclosure adalah isu yang luas. Aspek-aspek disclosure yang dicakup dalam Basel II hanyalah bagian dari disclosure yang harus dilakukan bank sebagai bagian dari aspek hukum dan kewajiban terhadap peraturan. Pengungkapan atas kinerja operasional perusahaan (meliputi seluruh kebijakan dan prosedur), didesain untuk memberikan informasi kepada para investor dan analis. Hal ini memungkinkan mereka mengambil kesimpulan terhadap prospek perusahaan saat ini dan masa depan.
Akhir-akhir ini, disclosure digunakan lebih jauh untuk kebijakan sosial lainnya, yaitu lebih memperhatikan sudut pandang stakeholder, daripada hanya pemegang saham, dalam melihat kinerja perusahaan.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Regulasi PILAR Basel ; PILAR 1
1. PILAR 1 – Resiko kredit
Pengertian Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang counterparty gagal memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut:
• Debitur tidak dapat melunasi utangnya;
• Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utang;
• Terjadinya gagal bayar (non-performance) dari semua kewajiban antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar kontrak derivatif.
2. PILAR 1 – Resiko pasar
Karakteristik Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian dari posisi on dan off-balance sheet yang ditimbulkan dari pergerakan harga pasar. Risiko ini menimbulkan dampak pada bank yang memiliki posisi instrumen keuangan pada neracanya. Namun, risiko ini tidak menimbulkan dampak jika bank hanya bertindak sebagai intermediaries dalam suatu transaksi.
Risiko Pasar Terdiri Atas:
• Risiko spesifik (specific risk)
Risiko spesifik adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pada pasar sekuritas yang hanya dialami oleh penerbit dari sekuritas tersebut.
• Risiko pasar umum (general market risk)
Risiko pasar umum adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pasar sehingga berdampak pada seluruh pasar dan pada sejumlah instrumen.
General market risk terbagi menjadi empat kategori:
• Risiko suku bunga (interest rate risk)
• Risiko posisi saham (equity position risk)
• Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange risk)
• Risiko posisi komoditas (commodity position risk)
Perlu dicatat bahwa masing-masing kateogri risiko pasar umum tersebut tidak berdiri sendiri (mutually exclusive), melainkan satu risiko akan berdampak pada risiko yang lain. Misalkan, perubahan pada suku bunga akan berdampak pula pada perubahan posisi saham, dan seterusnya.
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah potensi kerugian karena adanay perubahan pergerakan arah suku bunga. Risiko ini akan mempengaruhi semua instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curves untuk menghitung satu nilai pasar. Timbulnya risiko suku bunga pada bank disebabkan oleh:
• Traded market risk
• Interest risk in the banking book
Traded market risk
Traded market risk adalah risiko kerugian dari nilai investasi sehubungan dengan pembelian dan penjualan instrumen keuangan di pasar secara terus-menerus (trading) dengan tujuan mencari keuntungan. Traded market risk erat kaitannya dengan tingkat risiko yang sengaja diambil untuk memperoleh profit yang diinginkan.
Contoh: perdagangan obligasi. Misalnya perdagangan obligasi pemerintah yang memiliki suku bunga tetap 12% untuk jangka waktu tiga tahun. Nilai obligasi tersebut akan terpengaruh oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai obligasi akan naik. Jika suku bunga naik, nilai obligasi akan turun.
Keputusan pendanaan (funding decision) untuk pembelian obligasi tersebut, antara lain:
• Matched (obligasi dan pendanaan berdurasi sama)
• Long funding (pendanaan jangka panjang)
• Short funding (pendanaan jangka pendek)
3. PILAR 1 – Resiko operasional
Pengertian Risiko Operasional
Risiko operasional didefenisikan dalam Basel II sebagai risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidakcukupan karena tidak memadainya proses internal, manusia, dan sistem atau dari kejadian eksternal. Risiko operasional bukanlah risiko yang baru (sudah ada sejak bank mulai beroperasi), dan juga bukan suatu risiko yang unik bagi bank. Risiko ini akan memberikan dampak kepada seluruh bisnis bank karena risiko operasional adalah risiko yang melekat di dalam bank ketika melakukan proses operasional sehari-hari.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Pengertian Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang counterparty gagal memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut:
• Debitur tidak dapat melunasi utangnya;
• Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utang;
• Terjadinya gagal bayar (non-performance) dari semua kewajiban antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar kontrak derivatif.
2. PILAR 1 – Resiko pasar
Karakteristik Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian dari posisi on dan off-balance sheet yang ditimbulkan dari pergerakan harga pasar. Risiko ini menimbulkan dampak pada bank yang memiliki posisi instrumen keuangan pada neracanya. Namun, risiko ini tidak menimbulkan dampak jika bank hanya bertindak sebagai intermediaries dalam suatu transaksi.
Risiko Pasar Terdiri Atas:
• Risiko spesifik (specific risk)
Risiko spesifik adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pada pasar sekuritas yang hanya dialami oleh penerbit dari sekuritas tersebut.
• Risiko pasar umum (general market risk)
Risiko pasar umum adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan harga pasar sehingga berdampak pada seluruh pasar dan pada sejumlah instrumen.
General market risk terbagi menjadi empat kategori:
• Risiko suku bunga (interest rate risk)
• Risiko posisi saham (equity position risk)
• Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange risk)
• Risiko posisi komoditas (commodity position risk)
Perlu dicatat bahwa masing-masing kateogri risiko pasar umum tersebut tidak berdiri sendiri (mutually exclusive), melainkan satu risiko akan berdampak pada risiko yang lain. Misalkan, perubahan pada suku bunga akan berdampak pula pada perubahan posisi saham, dan seterusnya.
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah potensi kerugian karena adanay perubahan pergerakan arah suku bunga. Risiko ini akan mempengaruhi semua instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curves untuk menghitung satu nilai pasar. Timbulnya risiko suku bunga pada bank disebabkan oleh:
• Traded market risk
• Interest risk in the banking book
Traded market risk
Traded market risk adalah risiko kerugian dari nilai investasi sehubungan dengan pembelian dan penjualan instrumen keuangan di pasar secara terus-menerus (trading) dengan tujuan mencari keuntungan. Traded market risk erat kaitannya dengan tingkat risiko yang sengaja diambil untuk memperoleh profit yang diinginkan.
Contoh: perdagangan obligasi. Misalnya perdagangan obligasi pemerintah yang memiliki suku bunga tetap 12% untuk jangka waktu tiga tahun. Nilai obligasi tersebut akan terpengaruh oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai obligasi akan naik. Jika suku bunga naik, nilai obligasi akan turun.
Keputusan pendanaan (funding decision) untuk pembelian obligasi tersebut, antara lain:
• Matched (obligasi dan pendanaan berdurasi sama)
• Long funding (pendanaan jangka panjang)
• Short funding (pendanaan jangka pendek)
3. PILAR 1 – Resiko operasional
Pengertian Risiko Operasional
Risiko operasional didefenisikan dalam Basel II sebagai risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidakcukupan karena tidak memadainya proses internal, manusia, dan sistem atau dari kejadian eksternal. Risiko operasional bukanlah risiko yang baru (sudah ada sejak bank mulai beroperasi), dan juga bukan suatu risiko yang unik bagi bank. Risiko ini akan memberikan dampak kepada seluruh bisnis bank karena risiko operasional adalah risiko yang melekat di dalam bank ketika melakukan proses operasional sehari-hari.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Basel II (Basel Capital Accord II, 2004)
Pada tahun 1999, BCBS mulai bekerja dengan beberapa bank besar di negara anggotanya untuk mengembangkan sebuah Capital Accord yang baru. Tujuan utamanya adalah merangkum semua risiko perbankan dalam satu comprehensive capital adequacy framework yang baru, kemudian dikenal dengan nama Basel II.
Jenis-jenis risiko perbankan yang utama adalah:
· Market risk (risiko pasar)
· Credit risk (risiko kredit)
· Operational risk (risiko operasional)
· Other risk (risiko lain)
Supervisor (pengawas) lokal bertanggung jawab terhadap implementasi Basel II yang akan disesuaiakn dengan hukum dan regulasi setempat. Sangat penting untuk menjaga konsistensi dalam melakukan implementasi dari kerangka yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerangka yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerja sama yang lebih ditingkatkan. Implementasi yang konsisten juga amat penting untuk menghindari adanya kekeliruan dalam membuat laporan untuk supervisor di ‘home’ yaitu negara di mana bank tersebut didirikan dan supervisor di ‘host’ yaitu negara di mana cabang bank beroperasi.
BCBS memakai pendekatan konsultatif untuk memastikan bahwa Basel III, yang sedang dikembangkan, memiliki dampak positif. Juga, membantu kewaspadaan bank dan BCBS akan timbulnya masalah dalam implementasi. Selain itu, BCBS tidak ingin ada perubahan jumlah total modal bank yang menyangga industri perbankan. Upaya ini dianggap sudah ‘benar’ oleh banyak bank.
Pendekatan konsultatif dimulai dengan penerbitan consultative papers, kemudian diikuti periode konsultasi dan revisi. Periode konsultasi meliputi sejumlah Quantitative Impact Studies (QIS). Di dalam proses ini, beberapa bank melakukan estimasi dari dampak implementasi Basel berdasarkan consultative paper yang paling baru.
Dua Masalah yang Harus Diputuskan Sebelum Basel II Diselesaikan
Perkembangan metode kuantitatif yang digunakan perbankan memberikan landasan yang kuat bagi Basel II. Walaupun demikian, masih ada dua isu yaitu credit models dan risiko operasional dan risiko lain yang perlu diputuskan sebelum BCBS menyelesaikan Basel II.
Credit Models – Berbasis Peringkat atau Opsi
Pada akhir tahun 1990-an BCBS memutuskan untuk memakai credit grading models sebagai credit models (model untuk risiko kredit) dan option based models sebagai teknik tambahan saja. Sebelum keputusan ini keluar, BCBS menimbang penggunaan dua model, yaitu:
· Full Portfolio Models
Menggunakan teknik option pricing (ciptaan Robert Merton).
· Grading Models / Rating Models
Grading Models sering dipakai oleh credit rating agencies seperti Standard & Poor’s dan Moody’s Investors Service Ratings.
Risiko Operasional dan Risiko Lain
Keputusan BCBS mengenai risiko operasional dan other risk adlaah sebagai berikut:
· Memasukkan risiko operasional dalam pengukuran kuantitatif Pilar I;
· Mendefinisikan risiko operasional secara lebih luas untuk mencakup risiko yang lebih banyak, kecuali risiko reputasi, bisnis, dan strategis.
Sensitivitas Risiko
Breadth of Coverage
Cakupan Basel II lebih luas dibandingkan Basel I, yaitu adanya:
· Risiko operasional
· Pilar 2 dan Pilar 3, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalma penetapan rasio modal.
Depth of Coverage
Cakupan Basel II lebih dalam dibandingkan Basel I terutama dalam risiko kredit. Kedalaman cakupan risiko kredit dalam Basel II:
1. Memberikan sejumlah perbedaan terutama berdasarkan kualitas dari peminjam, jangka waktu kontrak, dan kualitas jaminan (agunan);
2. Menggunakan dua pendekatan untuk menetapakan ATMR, yaitu:
the Standarised Approach
Menggunakan peringkat dari public rating agency.
the Internal Rating-Based Approach
Menggunakan peringkat buatan snediri (minimum delapan peringkat).
Kecukupan Modal
Persyaratan kecukupan modal dalam Basel II, sama dengan Basel I yakini minimum 8%, BCBS yakin bahwa 8% target capital ratio untuk bank internasional tetap valid. Basel II bertujuan untuk membuat persyaratan modal semakin mendekati profil risiko dari setiap bank. Tentu saja ada kemungkinan besarnya modal yang dibutuhkan akan berbeda (dapat lebih besar atau lebih kecil) dari besarnya modal yang diwajibkan menurut ketentuan Basel I.
Dalam praktiknya, banyak bank yang memiliki rasio modal sebesar 10% hingga 12% di atas persyaratan 8% (memiliki ‘excess’ capital). Bank biasanya jarang memberitahukan bagaimana modal akutal ditetapkan. Namun, ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi keputusan tersebut:
1. Apabila rasio modal minimum dilanggar, bank dapat dicabut lisensi atau izinnya.
2. Supervisor dapat menetapkan rasio modal di atas tingkat minimum (8%) yang ditetapkan oleh Basel.
3. Beberapa bank besar memiliki modal internal yang sesuai dengan profil risiko dari portofolio bank (disebut ‘economic capital’). Internal model sering menghasilkan hasil perhitungan modal yang lebih tinggi.
4. Bank sebagai institusi komersial memiliki rencana bisnis jangka panjang (rencana pertumbuhan), baik yang akan dicapai secara organik ataupun melalui akuisisi, yang semuanya akan membutuhkan tingkat modal yang tinggi.
5. Karena tidak ada kepastiaan akses ke pasar modal, maka banyak bank yang tidak mau menggantungkan rencana kerja mereka pada ketersediaan modal dair pasar modal. Dengan demikian, lebih baik memiliki modal berlebih.
Pada proses implementasi Basel II, BCBS ingin memastikan BaselII tidak akan membuat jumlah modal yang diwajibkan sebelumnya (menurut Basel I) menjadi lebih kecil, baik dalam sistem perbankan secara keseluruhan maupun pada tiap bank.
Oleh karena itu, BCBS memakai dua ‘transitional arrangments’:
1. Faktor pengali (106%)
Supervisor akan menggunakan sebuah faktor penggali untuk memastikan bahwa minimum rasio modal sebesar 8% dapat terjaga. Faktor pengali akan ditetapkan pada semua bank yang menggunakan Internal Rating Based (IRB) Approach untuk risiko kredit atau Advanced Measurement Approach (AMA) untuk risiko operasional. Dari hasil QIS 3 (Quantitative Impact Study 3) faktor pengali adalah 106%.
2. Capital floor
Setiap bank tidak akan diizinkan merealisasi manfaat pengurangan modal secara cepat. Bank harus mengikuti fase yang disetujui supervisor, antara periode akhir tahun 2005 sampai dengan 2008. Arrangements tersebut berdasarkan pada sebuah capital ‘floor’ yang akan berkuarang seiring dengan berjalannya waktu.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Jenis-jenis risiko perbankan yang utama adalah:
· Market risk (risiko pasar)
· Credit risk (risiko kredit)
· Operational risk (risiko operasional)
· Other risk (risiko lain)
Supervisor (pengawas) lokal bertanggung jawab terhadap implementasi Basel II yang akan disesuaiakn dengan hukum dan regulasi setempat. Sangat penting untuk menjaga konsistensi dalam melakukan implementasi dari kerangka yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerangka yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerja sama yang lebih ditingkatkan. Implementasi yang konsisten juga amat penting untuk menghindari adanya kekeliruan dalam membuat laporan untuk supervisor di ‘home’ yaitu negara di mana bank tersebut didirikan dan supervisor di ‘host’ yaitu negara di mana cabang bank beroperasi.
BCBS memakai pendekatan konsultatif untuk memastikan bahwa Basel III, yang sedang dikembangkan, memiliki dampak positif. Juga, membantu kewaspadaan bank dan BCBS akan timbulnya masalah dalam implementasi. Selain itu, BCBS tidak ingin ada perubahan jumlah total modal bank yang menyangga industri perbankan. Upaya ini dianggap sudah ‘benar’ oleh banyak bank.
Pendekatan konsultatif dimulai dengan penerbitan consultative papers, kemudian diikuti periode konsultasi dan revisi. Periode konsultasi meliputi sejumlah Quantitative Impact Studies (QIS). Di dalam proses ini, beberapa bank melakukan estimasi dari dampak implementasi Basel berdasarkan consultative paper yang paling baru.
Dua Masalah yang Harus Diputuskan Sebelum Basel II Diselesaikan
Perkembangan metode kuantitatif yang digunakan perbankan memberikan landasan yang kuat bagi Basel II. Walaupun demikian, masih ada dua isu yaitu credit models dan risiko operasional dan risiko lain yang perlu diputuskan sebelum BCBS menyelesaikan Basel II.
Credit Models – Berbasis Peringkat atau Opsi
Pada akhir tahun 1990-an BCBS memutuskan untuk memakai credit grading models sebagai credit models (model untuk risiko kredit) dan option based models sebagai teknik tambahan saja. Sebelum keputusan ini keluar, BCBS menimbang penggunaan dua model, yaitu:
· Full Portfolio Models
Menggunakan teknik option pricing (ciptaan Robert Merton).
· Grading Models / Rating Models
Grading Models sering dipakai oleh credit rating agencies seperti Standard & Poor’s dan Moody’s Investors Service Ratings.
Risiko Operasional dan Risiko Lain
Keputusan BCBS mengenai risiko operasional dan other risk adlaah sebagai berikut:
· Memasukkan risiko operasional dalam pengukuran kuantitatif Pilar I;
· Mendefinisikan risiko operasional secara lebih luas untuk mencakup risiko yang lebih banyak, kecuali risiko reputasi, bisnis, dan strategis.
Sensitivitas Risiko
Breadth of Coverage
Cakupan Basel II lebih luas dibandingkan Basel I, yaitu adanya:
· Risiko operasional
· Pilar 2 dan Pilar 3, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalma penetapan rasio modal.
Depth of Coverage
Cakupan Basel II lebih dalam dibandingkan Basel I terutama dalam risiko kredit. Kedalaman cakupan risiko kredit dalam Basel II:
1. Memberikan sejumlah perbedaan terutama berdasarkan kualitas dari peminjam, jangka waktu kontrak, dan kualitas jaminan (agunan);
2. Menggunakan dua pendekatan untuk menetapakan ATMR, yaitu:
the Standarised Approach
Menggunakan peringkat dari public rating agency.
the Internal Rating-Based Approach
Menggunakan peringkat buatan snediri (minimum delapan peringkat).
Kecukupan Modal
Persyaratan kecukupan modal dalam Basel II, sama dengan Basel I yakini minimum 8%, BCBS yakin bahwa 8% target capital ratio untuk bank internasional tetap valid. Basel II bertujuan untuk membuat persyaratan modal semakin mendekati profil risiko dari setiap bank. Tentu saja ada kemungkinan besarnya modal yang dibutuhkan akan berbeda (dapat lebih besar atau lebih kecil) dari besarnya modal yang diwajibkan menurut ketentuan Basel I.
Dalam praktiknya, banyak bank yang memiliki rasio modal sebesar 10% hingga 12% di atas persyaratan 8% (memiliki ‘excess’ capital). Bank biasanya jarang memberitahukan bagaimana modal akutal ditetapkan. Namun, ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi keputusan tersebut:
1. Apabila rasio modal minimum dilanggar, bank dapat dicabut lisensi atau izinnya.
2. Supervisor dapat menetapkan rasio modal di atas tingkat minimum (8%) yang ditetapkan oleh Basel.
3. Beberapa bank besar memiliki modal internal yang sesuai dengan profil risiko dari portofolio bank (disebut ‘economic capital’). Internal model sering menghasilkan hasil perhitungan modal yang lebih tinggi.
4. Bank sebagai institusi komersial memiliki rencana bisnis jangka panjang (rencana pertumbuhan), baik yang akan dicapai secara organik ataupun melalui akuisisi, yang semuanya akan membutuhkan tingkat modal yang tinggi.
5. Karena tidak ada kepastiaan akses ke pasar modal, maka banyak bank yang tidak mau menggantungkan rencana kerja mereka pada ketersediaan modal dair pasar modal. Dengan demikian, lebih baik memiliki modal berlebih.
Pada proses implementasi Basel II, BCBS ingin memastikan BaselII tidak akan membuat jumlah modal yang diwajibkan sebelumnya (menurut Basel I) menjadi lebih kecil, baik dalam sistem perbankan secara keseluruhan maupun pada tiap bank.
Oleh karena itu, BCBS memakai dua ‘transitional arrangments’:
1. Faktor pengali (106%)
Supervisor akan menggunakan sebuah faktor penggali untuk memastikan bahwa minimum rasio modal sebesar 8% dapat terjaga. Faktor pengali akan ditetapkan pada semua bank yang menggunakan Internal Rating Based (IRB) Approach untuk risiko kredit atau Advanced Measurement Approach (AMA) untuk risiko operasional. Dari hasil QIS 3 (Quantitative Impact Study 3) faktor pengali adalah 106%.
2. Capital floor
Setiap bank tidak akan diizinkan merealisasi manfaat pengurangan modal secara cepat. Bank harus mengikuti fase yang disetujui supervisor, antara periode akhir tahun 2005 sampai dengan 2008. Arrangements tersebut berdasarkan pada sebuah capital ‘floor’ yang akan berkuarang seiring dengan berjalannya waktu.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
BASEL I (Basel Capital Accord I, 1998)
Pengembangan Basel I
Basel I merupakan hasil usaha pertama The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) dalam menciptakan metodologi standar untuk menghitung besarnya risk-based capital yang harus dimiliki Bank.
BCBS didirikan pada tahun 1974 oleh gubernur bank sentral dari the Group of Ten (G10) untuk menfokuskan pada regulasi perbankan dan praktik supervisi. G10 mempunyai 11 negara anggota, yaitu Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, Swiss, Inggris, Amerika, dan Jepang. Anggota BCBS terdiri atas perwakilan bank sentral dan supervisor dari G10 + Spanyol + Luxemburg (total ada 13 anggota).
Basel I hanya mencakup risiko kredit dan keterkaitan antara risiko dan modal masih kasar (kurang sensitif). Di Basel I, target rasio modal ditetapkan sebesar 8% (Basel II tetap memakai rasio modal 8% ini).
BCBS memiliki tiga tujuan utama dalam mengembangkan Basel I, yaitu:
· Memperkuat keandalan dan stabilitas dari sistem perbankan internasional.
· Menciptakan kerangka yang adil dalam mengukur kecukapan modal bank internasional.
· Mengembangkan kerangka yang dapat diimplementasikan secara konsisten dengan tujuan untuk mengurangi persaingan yang tidak seimbang di antara bank internasional.
Kecukupan Modal untuk Risiko Kredit
Aset “on-balance-sheet”, ATMR dan bobot risiko
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Risk Weighted Asset (RWA) adalah kumpulan aset dalam neraca (on-balance sheet) yang telah dikalikan dengan bobot risiko. Sementara itu, bobot risiko atau Risk Weight (RW) didasarkan pada risiko kredit yang diasosiasikan dengan segolongan aset.
Ada lima kategori aset dengan bobot risiko 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100%.
ATMR = ASET x bobot risiko
Rasio Modal: Eligible Capital / ATMR (minimum 8%)
Modal yang Dipersyaratkan (Required Capital) = ATMR x 8%
Aset “off-balance-sheet” & Credit Risk Equivalence (CRE)
Dalam perhitungan modal untuk aset yang bersifat off-balance-sheet. BCBS memakai konsep credit risk equivalance. Hal ini pertama kali dibahas pada bulan Maret 1986 dalam sebuah kertas kerja BCBS berjudul The Management of Banks’ Off Balance-Sheet Exposures: A Supervisory Perspective. Setiap transaksi off-balance sheet dapat diubah menjadi setara pinjaman (credit equivalant) dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam on-balance-sheet dengan tujuan untuk perhitungan ATMR.
Off-balance sheet exposure biasanya adalah contigent liabilities seperti guarantees, options, acceptances, dan warranties. Tidak ada kas atau aset fisik yang terlihat dalam neraca keuangan (neraca tidak mencatat kontrak, hanya proceeds). Contoh yang paling baik adalah kontrak asuransi di mana account hanya menunjukkan premi yang harus dibayar, tetapi kontrak itu sendiri tidak masuk dalam account.
CRE & Instrumen Derivatif
Transaksi off-balance sheet seperti derivatif diperlakukan berbeda. Derivatif adalah instrumen keuangan di mana nilai pokok kontrak biasanya tidak dipertukarkan.
Dalam instrumen derivatif (misalnya interest rate swap), bank tidak menghadapi risiko sebesar nominal (full face value) dari nilai kontrak swap. Bank hanya menghadapi potensi kerugian sebesar arus kas dari kontrak. Oleh karena itu, untuk setiap kontrak derivatif, faktor konversi (conversion factor / CF) turun 50% (50% x CF).
Ada dua metode untuk menghitung credit equivalent dari kontrak derivatif, yaitu:
· the Current Exposure Method (CEM), dan
· the Original Exposure Method (OEM)
Metode CEM untuk Instrumen Derivatif
CEM merupakan metode yang direkomendasikan oleh BCBS dalam Basel I. CEM menghitung ‘credit exposure’(CE) sebagai berikut:
· Menghitung currenct replacement cost (biaya pengganti saat ini) atas kontrak dengan melakukan mark-to-market (MTM). Jika MTM bernilai positif, berarti bank pada posisi untung, tetapi akan merugi jika counterparty mengalami default.
· Ditambahkan ‘add-on’ yaitu suatu persentase pada notional principal, untuk dapat mencakup ‘additional exposure’. Additional exposure terjadi karena MTM selalu berubah, terus berfluktuasi sampai jatuh tempo.
Metode OEM untuk Instrumen Derivatif
The Original Exposure Method memungkinkan bank menghitung suatu persentase dari notional principal sebagai exposure tanpa harus menghitung current value (replacement value) atas kontrak derivatif yang dimiliki.
Bank yang diperbolehkan Basel I memakai OEM adalah yang akan (belum) mengimplementasikan CEM dan yang memiliki sedikit kontrak derivatif (matched position).
Bank yang tidak diperbolehkan Base I memakai OEM dan harus memakai CEM adalah bank yang sering melakukan aktivitas forwards, swaps, membeli options atau kontrak derivatif berdasarkan ekuitas, logam berharga (kecuali emas), atau komoditi lainnya.
Return atas Modal
Return atas modal adalah suatu ukuran kinerja yang dipergunakan untuk memastikan bahwa suatu transaksi mampu menghasilkan return yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan bank menambah modal baru.
Biasanya, sesuai Basel I dan II, cara menghitung modal adalah melakukan perhitungan berdasarkan besarnya ATMR yang dimiliki. Namun, terbitnya kontrak (bisnis) baru dan hilangnya kontrak lama (jatuh tempo0 dapat mengubah besarnya ATMR.
Oleh karena ATMR selalu berubah, bank memiliki dua pilihan, yaitu:
· Menetapkan batas maksimum besarnya modal atau batas maksimum ATMR. Namun, hal ini sangat sulit diterapkan karena ATMR dari traded instrument dapat memperbesar tanpa munculnya bisnis baru.
· Menetapkan besarnya modal baru mengikuti kenaikan ATMR. Pada umumnya, jika ATMR naik, bank perlu menambah modal. Dengan demikian, perlu mempertimbangkan return atas modal tersebut.
Eligible Capital
Selain menetapkan kerangka untuk mengukur kecukupan modal, Basel I juga menetapkan kerangka dari struktur modal bank yang disebut ‘eligible capital’. BCBS menetapkan bahwa elemen utama dari eligible capital dari sebuah bank adalah modal saham.
Untuk tujuan persyaratan permodalan (regulatory capital), bank diperbolehkan memiliki modal (eligible capital) dalam dua tier.
Tier 1, yaitu modal inti terdiri dari saham biasa (common stock) yang diterbitkan yang disetor penuh, non-cumulative perpetual preferred stock dan disclosed reserved.
Tier 2, yaitu modal pelengkap yang terdiri dari cadangan umum, cadangan revaluasi aktiva tetap, provisi umum dan penyisihan penghapusan aktiva produktif umum (general provisions and general loan loss reserve), modal pinjaman (hybrid capital instruments) dan pinjaman subordinasi. Modal Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari modal total.
Sebagai catatan, terdapat pula Tier 3, yang hanya dapat digunakan untuk trading portfolio yang dimiliki bank.
Modal tidak boleh mengikutsertakan:
· goodwill;
· investasi di perbankan dan institusi finansial yang tidak dikonsolidasi;
· investasi pada modal dan bank lain dan perusahaan finansial lainnya;
· investasi minoritas yang tidak dikonsolidasi misalnya associate banks.
Kelemahan Basel I
Dalam perhitungan kecukupan modal, Basel I tidak menggunakan informasi tentnag peringkat (rating) dari peminjam. Bank yang memberikan pinjaman kepada korporasi atau perusahaan yang bagus akan menyediakan jumlah modal yang sama dengan bak yang memberikan pinjaman kepada perusahaan yang buruk. Tidak ada bedanya.
Hal tersebut menimbulkan masalah, terutama pada pasar obligasi, karena peringkat memiliki keterkaitan erat dengan return. Obligasi yang diterbitkan perusahaan yang bagus akan memiliki return (yield / imbal hasil) yang rendah. Bank dapat kalah bersaing dengan obligasi. Perusahaan-perusahaan yang bagus akan lebih memilih menerbitkan obligasi daripada meminjam dari bank, karena biayanya lebih murah (suku pinjaman lebih rendah).
Selain itu, karena persyaratan modal yang sama, maka bank akan cenderung untuk menyalurkan fasilitas kredit ke perusahaan yang yang tidak bagus (berisiko tinggi) dengan harapan akan mendapatkan return yang tinggi pula. Kondisi seperti ini disebut regulatory capital arbitrage. Efek buruknya, banyak bank akan memiliki portofolio kredit dengan risiko yang tinggi.
Market Risk Ammendment
(Ammendment to the Capital Accord to Incorporate Market Risk, January 1996)
Pengembangan Market Risk Ammendment
Basel I sering secara salah dikritik karena kurang sensitif terhadap risiko, padahal sensitivitas risiko adalah sangat mendasar bagi BCBS ketika menggembangkan Basel I.
Pada Market Risk Ammendment (MRA) tingkat sensitivitas risiko semakin meningkat.
Proses pengembangan MRA adalah sebagai berikut:
1. BCBS menerbitkan kerta kerja yang berjudul “The Supervisory Treatment of Market Risks” dan menanyakan komentar dari bank dan pelaku pasar lainnya.
2. Pada tahun 1994 BCBS melakukan penelitian atas penggunaan internal models di perbankan dalam mengukur risiko pasar. Ternyata, modal yang dikembangkan masing-masing bank cenderung berbeda satu sama lain, bahkan berbeda jauh dari konsep ATMR Basel I. Meskipun begitu, untuk memperoleh internal model yang dapat diterima, BCBS mengikuti apa yang sudah dikembangkan di perbankan.
3. BCBS memakai pendekatan ‘twin-track’, yang mengevaluasi ketepatan penerapan model kuantitatif dan kualitas proses yang mendukung penerapan model tersebut. Model kauntitatif yang dikembangkan oleh bank, dan diterima oleh BCBS, adalah Value at Risk (VaR).
Value at Risk (VaR)
VaR menggambarkan estimasi dari jumlah kerugian maksimum yang mungkin terjadi pada portofolio bank akibat dari risiko pasar dalam periode waktu tertentu dan dalam tingkat keyakinan statistik tertentu. VaR horizon adalah periode di mana transaksi berjalan. Biasanya menggunakan satu hari trading (untuk berbagai transaksi perdagangan), yang disebut Daily Value at Risk (DVaR).
Laporan risiko suatu bank mungkin berupa kalimat sebagai berikut:
“Trading portfolio memiliki DVaR sebesar USD 10 juta pada tingkat keyakinan 95%.”
Dalam kalimat tersebut, tingkat keyakinan (confidence level) menunjukkan tingkat probabilitas suatu event akan terjadi. Biasanya, probabilitas yang digunakan adalah 95% atau 99%.
Secara sederhana, kalimat tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
“Dalam satu hari trading ada 5% (100% - 95%) peluang, bank akan menderita kerugian yang melebihi USD 10 juta.”
Tingkat probabilitas tersebut kelihatannya kecil. Namun jika diperhitungkan, maka dalam periode satu tahun, dengan asumsi 240 hari dalam satu tahun, ada sebanyak 12 hari, di mana portofolio dapat menderita kerugian melebihi USD 10 juta.
Patut dicatat bahwa angka dalam model VaR tidaklah menunjukkan suatu estimasi seberapa besar kerugian aktual yang akan terjadi. Dalam contoh tersebut, model tidak memperlihatkan suatu indikasi berapa kerugian (di atas USD 10 juta) akan terjadi.
Market Risk Amendment, dengan model Value of Risk, menghasilkan untuk pertama kalinya regulasi berbasis risiko yang sebenarnya (true risk based regulation). Kesuksesan Market Risk Amendment merupakan tonggak utama pengembangan regulasi berbasiskan risiko. Banyak banyak yang mulai mengganti proses kredit internal ke arah penggunaan model risiko kuantitatif yang mempunyai kemiripan dengan teknik VaR.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Basel I merupakan hasil usaha pertama The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) dalam menciptakan metodologi standar untuk menghitung besarnya risk-based capital yang harus dimiliki Bank.
BCBS didirikan pada tahun 1974 oleh gubernur bank sentral dari the Group of Ten (G10) untuk menfokuskan pada regulasi perbankan dan praktik supervisi. G10 mempunyai 11 negara anggota, yaitu Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, Swiss, Inggris, Amerika, dan Jepang. Anggota BCBS terdiri atas perwakilan bank sentral dan supervisor dari G10 + Spanyol + Luxemburg (total ada 13 anggota).
Basel I hanya mencakup risiko kredit dan keterkaitan antara risiko dan modal masih kasar (kurang sensitif). Di Basel I, target rasio modal ditetapkan sebesar 8% (Basel II tetap memakai rasio modal 8% ini).
BCBS memiliki tiga tujuan utama dalam mengembangkan Basel I, yaitu:
· Memperkuat keandalan dan stabilitas dari sistem perbankan internasional.
· Menciptakan kerangka yang adil dalam mengukur kecukapan modal bank internasional.
· Mengembangkan kerangka yang dapat diimplementasikan secara konsisten dengan tujuan untuk mengurangi persaingan yang tidak seimbang di antara bank internasional.
Kecukupan Modal untuk Risiko Kredit
Aset “on-balance-sheet”, ATMR dan bobot risiko
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Risk Weighted Asset (RWA) adalah kumpulan aset dalam neraca (on-balance sheet) yang telah dikalikan dengan bobot risiko. Sementara itu, bobot risiko atau Risk Weight (RW) didasarkan pada risiko kredit yang diasosiasikan dengan segolongan aset.
Ada lima kategori aset dengan bobot risiko 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100%.
ATMR = ASET x bobot risiko
Rasio Modal: Eligible Capital / ATMR (minimum 8%)
Modal yang Dipersyaratkan (Required Capital) = ATMR x 8%
Aset “off-balance-sheet” & Credit Risk Equivalence (CRE)
Dalam perhitungan modal untuk aset yang bersifat off-balance-sheet. BCBS memakai konsep credit risk equivalance. Hal ini pertama kali dibahas pada bulan Maret 1986 dalam sebuah kertas kerja BCBS berjudul The Management of Banks’ Off Balance-Sheet Exposures: A Supervisory Perspective. Setiap transaksi off-balance sheet dapat diubah menjadi setara pinjaman (credit equivalant) dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam on-balance-sheet dengan tujuan untuk perhitungan ATMR.
Off-balance sheet exposure biasanya adalah contigent liabilities seperti guarantees, options, acceptances, dan warranties. Tidak ada kas atau aset fisik yang terlihat dalam neraca keuangan (neraca tidak mencatat kontrak, hanya proceeds). Contoh yang paling baik adalah kontrak asuransi di mana account hanya menunjukkan premi yang harus dibayar, tetapi kontrak itu sendiri tidak masuk dalam account.
CRE & Instrumen Derivatif
Transaksi off-balance sheet seperti derivatif diperlakukan berbeda. Derivatif adalah instrumen keuangan di mana nilai pokok kontrak biasanya tidak dipertukarkan.
Dalam instrumen derivatif (misalnya interest rate swap), bank tidak menghadapi risiko sebesar nominal (full face value) dari nilai kontrak swap. Bank hanya menghadapi potensi kerugian sebesar arus kas dari kontrak. Oleh karena itu, untuk setiap kontrak derivatif, faktor konversi (conversion factor / CF) turun 50% (50% x CF).
Ada dua metode untuk menghitung credit equivalent dari kontrak derivatif, yaitu:
· the Current Exposure Method (CEM), dan
· the Original Exposure Method (OEM)
Metode CEM untuk Instrumen Derivatif
CEM merupakan metode yang direkomendasikan oleh BCBS dalam Basel I. CEM menghitung ‘credit exposure’(CE) sebagai berikut:
· Menghitung currenct replacement cost (biaya pengganti saat ini) atas kontrak dengan melakukan mark-to-market (MTM). Jika MTM bernilai positif, berarti bank pada posisi untung, tetapi akan merugi jika counterparty mengalami default.
· Ditambahkan ‘add-on’ yaitu suatu persentase pada notional principal, untuk dapat mencakup ‘additional exposure’. Additional exposure terjadi karena MTM selalu berubah, terus berfluktuasi sampai jatuh tempo.
Metode OEM untuk Instrumen Derivatif
The Original Exposure Method memungkinkan bank menghitung suatu persentase dari notional principal sebagai exposure tanpa harus menghitung current value (replacement value) atas kontrak derivatif yang dimiliki.
Bank yang diperbolehkan Basel I memakai OEM adalah yang akan (belum) mengimplementasikan CEM dan yang memiliki sedikit kontrak derivatif (matched position).
Bank yang tidak diperbolehkan Base I memakai OEM dan harus memakai CEM adalah bank yang sering melakukan aktivitas forwards, swaps, membeli options atau kontrak derivatif berdasarkan ekuitas, logam berharga (kecuali emas), atau komoditi lainnya.
Return atas Modal
Return atas modal adalah suatu ukuran kinerja yang dipergunakan untuk memastikan bahwa suatu transaksi mampu menghasilkan return yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan bank menambah modal baru.
Biasanya, sesuai Basel I dan II, cara menghitung modal adalah melakukan perhitungan berdasarkan besarnya ATMR yang dimiliki. Namun, terbitnya kontrak (bisnis) baru dan hilangnya kontrak lama (jatuh tempo0 dapat mengubah besarnya ATMR.
Oleh karena ATMR selalu berubah, bank memiliki dua pilihan, yaitu:
· Menetapkan batas maksimum besarnya modal atau batas maksimum ATMR. Namun, hal ini sangat sulit diterapkan karena ATMR dari traded instrument dapat memperbesar tanpa munculnya bisnis baru.
· Menetapkan besarnya modal baru mengikuti kenaikan ATMR. Pada umumnya, jika ATMR naik, bank perlu menambah modal. Dengan demikian, perlu mempertimbangkan return atas modal tersebut.
Eligible Capital
Selain menetapkan kerangka untuk mengukur kecukupan modal, Basel I juga menetapkan kerangka dari struktur modal bank yang disebut ‘eligible capital’. BCBS menetapkan bahwa elemen utama dari eligible capital dari sebuah bank adalah modal saham.
Untuk tujuan persyaratan permodalan (regulatory capital), bank diperbolehkan memiliki modal (eligible capital) dalam dua tier.
Tier 1, yaitu modal inti terdiri dari saham biasa (common stock) yang diterbitkan yang disetor penuh, non-cumulative perpetual preferred stock dan disclosed reserved.
Tier 2, yaitu modal pelengkap yang terdiri dari cadangan umum, cadangan revaluasi aktiva tetap, provisi umum dan penyisihan penghapusan aktiva produktif umum (general provisions and general loan loss reserve), modal pinjaman (hybrid capital instruments) dan pinjaman subordinasi. Modal Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari modal total.
Sebagai catatan, terdapat pula Tier 3, yang hanya dapat digunakan untuk trading portfolio yang dimiliki bank.
Modal tidak boleh mengikutsertakan:
· goodwill;
· investasi di perbankan dan institusi finansial yang tidak dikonsolidasi;
· investasi pada modal dan bank lain dan perusahaan finansial lainnya;
· investasi minoritas yang tidak dikonsolidasi misalnya associate banks.
Kelemahan Basel I
Dalam perhitungan kecukupan modal, Basel I tidak menggunakan informasi tentnag peringkat (rating) dari peminjam. Bank yang memberikan pinjaman kepada korporasi atau perusahaan yang bagus akan menyediakan jumlah modal yang sama dengan bak yang memberikan pinjaman kepada perusahaan yang buruk. Tidak ada bedanya.
Hal tersebut menimbulkan masalah, terutama pada pasar obligasi, karena peringkat memiliki keterkaitan erat dengan return. Obligasi yang diterbitkan perusahaan yang bagus akan memiliki return (yield / imbal hasil) yang rendah. Bank dapat kalah bersaing dengan obligasi. Perusahaan-perusahaan yang bagus akan lebih memilih menerbitkan obligasi daripada meminjam dari bank, karena biayanya lebih murah (suku pinjaman lebih rendah).
Selain itu, karena persyaratan modal yang sama, maka bank akan cenderung untuk menyalurkan fasilitas kredit ke perusahaan yang yang tidak bagus (berisiko tinggi) dengan harapan akan mendapatkan return yang tinggi pula. Kondisi seperti ini disebut regulatory capital arbitrage. Efek buruknya, banyak bank akan memiliki portofolio kredit dengan risiko yang tinggi.
Market Risk Ammendment
(Ammendment to the Capital Accord to Incorporate Market Risk, January 1996)
Pengembangan Market Risk Ammendment
Basel I sering secara salah dikritik karena kurang sensitif terhadap risiko, padahal sensitivitas risiko adalah sangat mendasar bagi BCBS ketika menggembangkan Basel I.
Pada Market Risk Ammendment (MRA) tingkat sensitivitas risiko semakin meningkat.
Proses pengembangan MRA adalah sebagai berikut:
1. BCBS menerbitkan kerta kerja yang berjudul “The Supervisory Treatment of Market Risks” dan menanyakan komentar dari bank dan pelaku pasar lainnya.
2. Pada tahun 1994 BCBS melakukan penelitian atas penggunaan internal models di perbankan dalam mengukur risiko pasar. Ternyata, modal yang dikembangkan masing-masing bank cenderung berbeda satu sama lain, bahkan berbeda jauh dari konsep ATMR Basel I. Meskipun begitu, untuk memperoleh internal model yang dapat diterima, BCBS mengikuti apa yang sudah dikembangkan di perbankan.
3. BCBS memakai pendekatan ‘twin-track’, yang mengevaluasi ketepatan penerapan model kuantitatif dan kualitas proses yang mendukung penerapan model tersebut. Model kauntitatif yang dikembangkan oleh bank, dan diterima oleh BCBS, adalah Value at Risk (VaR).
Value at Risk (VaR)
VaR menggambarkan estimasi dari jumlah kerugian maksimum yang mungkin terjadi pada portofolio bank akibat dari risiko pasar dalam periode waktu tertentu dan dalam tingkat keyakinan statistik tertentu. VaR horizon adalah periode di mana transaksi berjalan. Biasanya menggunakan satu hari trading (untuk berbagai transaksi perdagangan), yang disebut Daily Value at Risk (DVaR).
Laporan risiko suatu bank mungkin berupa kalimat sebagai berikut:
“Trading portfolio memiliki DVaR sebesar USD 10 juta pada tingkat keyakinan 95%.”
Dalam kalimat tersebut, tingkat keyakinan (confidence level) menunjukkan tingkat probabilitas suatu event akan terjadi. Biasanya, probabilitas yang digunakan adalah 95% atau 99%.
Secara sederhana, kalimat tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
“Dalam satu hari trading ada 5% (100% - 95%) peluang, bank akan menderita kerugian yang melebihi USD 10 juta.”
Tingkat probabilitas tersebut kelihatannya kecil. Namun jika diperhitungkan, maka dalam periode satu tahun, dengan asumsi 240 hari dalam satu tahun, ada sebanyak 12 hari, di mana portofolio dapat menderita kerugian melebihi USD 10 juta.
Patut dicatat bahwa angka dalam model VaR tidaklah menunjukkan suatu estimasi seberapa besar kerugian aktual yang akan terjadi. Dalam contoh tersebut, model tidak memperlihatkan suatu indikasi berapa kerugian (di atas USD 10 juta) akan terjadi.
Market Risk Amendment, dengan model Value of Risk, menghasilkan untuk pertama kalinya regulasi berbasis risiko yang sebenarnya (true risk based regulation). Kesuksesan Market Risk Amendment merupakan tonggak utama pengembangan regulasi berbasiskan risiko. Banyak banyak yang mulai mengganti proses kredit internal ke arah penggunaan model risiko kuantitatif yang mempunyai kemiripan dengan teknik VaR.
Referensi: http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
Proses, Metodologi dan Alat pada Manajemen Resiko
1. Mengidentifikasi dan menilai resiko
Umum
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap risiko yang akan dikelola. Identifikasi harus dilakukan terhadap semua risiko, baik yang berada didalam ataupun diluar organisasi.
Apa Yang Dapat Terjadi
Tujuannya adalah untuk menyusun daftar risiko secara komprehensif dari kejadian-kejadian yang dapat berdampak pada setiap elemen kegiatan. Perlu juga dilakukan pencatatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi risiko yang ada secara rinci sehingga menggambarkan proses yang terjadi. Pada dasarnya tahap ini memberikan eksplorasi gambaran permasalahan yang sedang dihadapi. Tahap ini nantinya akan memberikan besaran konsekuensi yang dapat terjadi. Konsekuensi merupakan salah satu variabel penting untuk penentuan level risiko nantinya.
Bagaimana Dan Mengapa Itu Terjadi
Pada tahap ini dilakukan penyusunan skenario proses kejadian yang akan menimbulkan risiko berdasarkan informasi gambaran hasil eksplorasi masalah diatas. Skenario menjadi penting untuk memberikan rangkaian ‘cerita’ tentang proses terjadinya sebuah risiko, termasuk faktor-faktor yang adapat diduga menjadi penyebab ataupun mempengaruhi timbulnya risiko. Tahap ini akan memberikan rentang probabilitas yang ada. Sebagaimana konsekuensi, maka probabilitas juga merupakan variabel penting yang akan menentukan level risiko yang ada.
Peralatan Dan Teknik
Pendekatan yang digunakan untuk identifikasi risiko diantaranya, checklist, penilaian berdasarkan pengalaman dan pencatatan, flowcharts, brainstorming, analisis sistem, analisis skenario, dan teknik sistem engineering.
2. Menilai dan mengukur resiko
Umum
Tujuan dari analisis risiko adalah untuk membedakan risiko minor yang dapat diterima dari risiko mayor, dan untuk menyediakan data untuk membantu evaluasi dan penanganan risiko. Analisis risiko termasuk pertimbangan dari sumber risiko, dan konsekuensinya. Faktor yang mempengaruhi konsekuensi dapat teridentifikasi. Risiko dianalisis dengan mempertimbangkan estimasi konsekuensi dan perhitungan terhadap program pengendalian yang selama ini sudah dijalankan.
Analis pendahuluan dapat dibuat untuk mendapatkan gambaran seluruh risiko yang ada. Kemudian disusun urutan risiko yang ada. Risiko-risiko yang kecil untuk sementara diabaikan dulu. Prioritas diberikan kepada risiko-risiko yang cukup signifikan dapat menimbulkan kerugian.
Menetapkan/ Determinasi Pengendalian Yang Sudah Ada
Identifikasi manajemen, sistem teknis dan prosedur-prosedur yang sudah ada untuk pengendalian risiko, kemudian dinilai kelebihan dan kekurangannya. Alat-alat yang digunakan dinilai kesesuainnya. Pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan misalnya, seperti inspeksi dan teknik pengendalian dengan penilaian sendiri/ professional judgement (Control Self-Assessment Techniques/ CST).
Konsekuensi/ Dampak Dan Kemungkinan
Konsekuensi dan probabilitas adalah kombinasi/ gabungan untuk memperlihatkan level risiko. Berbagai metode bisa digunakan untuk menghitung konsekuensi dan probabilitas, diantaranya dengan menggunakan metode statistik.
Metode lain yang juga bisa digunakan jika data terdahulu tidak tersedia, dengan melakukan ekstrapolasi data-data sekunder secara umum dari lembaga-lembaga internasional maupun industri sejenis. Kemudian dibuat estimasi/ perkiraan secara subyektif. Metode ini disebut metode penentuan dengan professional judgement. Hasilnya dapat memberikan gambaran secara umum mengenai level risiko yang ada.
Sumber informasi yang dapat digunakan untuk menghitung konsekuensi diantaranya adalah:
a. Catatan-catatan terdahulu.
b. Pengalaman kejadian yang relevan.
c. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di industri dan pengalaman-pengalaman pengendaliannya.
d. Literatur-literatur yang beredar dan relevan.
e. Marketing test dan penelitian pasar.
f. Percobaan-percobaan dan prototipe.
g. Model ekonomi, teknik, maupun model yang lain.
h. Spesialis dan pendapat-pendapat para pakar.
Sedangkan teknik-tekniknya adalah:
a. Wawancara yang terstruktur dengan para pakar yang terkait.
b. Menggunakan berbagai disiplin keilmuan dari para pakar.
c. Evaluasi perorangan dengan menggunakan kuesioner.
d. Menggunakan sarana komputer dan lainnya.
e. Menggunakan pohon kesalahan (fault tree) dan pohon kejadian (event tree).
Tipe Analisis
Analisis risiko akan tergantung informasi risiko dan data yang tersedia. Metode analisis yang digunakan bisa bersifat kualitatif, semi kuantitatif, atau kuantitatif bahkan kombinasi dari ketiganya tergantung dari situasi dan kondisinya.
Urutan kompleksitas serta besarnya biaya analisis (dari kecil hingga besar) adalah: kualitatif, semi kuantitatif, dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang level risiko. Setelah itu dapat dilakukan analisis semi kuantitatif ataupun kuantitatif untuk lebih merinci level risiko yang ada.
Penjelasan tentang karakteristik jenis-jenis analisis tersebut dapat dilihat dibawah ini:
Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif menggunakan bentuk kata atau skala deskriptif untuk menjelaskan seberapa besar potensi risiko yang akan diukur. Hasilnya misalnya risiko dapat termasuk dalam:
a. Risiko rendah
b. Risiko sedang
c. Risiko tinggi
Catatan: Tabel E1 dan E2 dalam lampiran E menggambarkan contoh bentuk kualitatif yang mudah atau skala deskriptif dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tabel E3 adalah sebuah contoh dari sebuah matriks yang dibuat berdasarkan prioritas kelas dengan menggambungkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Tabel tersebut perlu ditata kembali sesuai kebutuhan dari organisasi yang individu atau subjek tertentu dari penilaian suatu risiko.
Analisis kualitatif digunakan untuk kegiatan skrining awal pada risiko yang membutuhkan analisis lebih rinci dan lebih mendalam.
Analisis Semi-Kuantitatif
Pada analisis semi kuantitatif, skala kualitatif yang telah disebutkan diatas diberi nilai. Setiap nilai yang diberikan haruslah menggambarkan derajat konsekuensi maupun probabilitas dari risiko yang ada. Misalnya suatu risiko mempunyai tingkat probabilitas sangat mungkin terjadi, kemudian diberi nilai 100. setelah itu dilihat tingkat konsekuensi yang dapat terjadi sangat parah, lalu diberi nilai 50. Maka tingkat risiko adalah 100 x 50 = 5000. Nilai tingkat risiko ini kemudian dikonfirmasikan dengan tabel standar yang ada (misalnya dari ANZS/ Australian New Zealand Standard, No. 96, 1999).
Kehati-hatian harus dilakukan dalam menggunakan analisis semi-kuantitatif, karena nilai yang kita buat belum tentu mencerminkan kondisi obyektif yang ada dari sebuah risiko. Ketepatan perhitungan akan sangat bergantung kepada tingkat pengetahuan tim ahli dalam analisis tersebut terhadap proses terjadinya sebuah risiko. Oleh karena itu kegiatan analisis ini sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan background, tentu saja juga melibatkan manajer ataupun supervisor di bidang operasi.
Analisis Kuantitatif
Analisis dengan metode ini menggunakan nilai numerik. Kualitas dari analisis tergantung pada akurasi dan kelengkapan data yang ada. Konsekuensi dapat dihitung dengan menggunakan metode modeling hasil dari kejadian atau kumpulan kejadian atau dengan mempekirakan kemungkinan dari studi eksperimen atau data sekunder/ data terdahulu.
Probabilitas biasanya dihitung sebagai salah satu atau keduanya (exposure dan probability). Kedua variabel ini (probabilitas dan konsekuensi) kemudian digabung untuk menetapkan tingkat risiko yang ada. Tingkat risiko ini akan berbeda-beda menurut jenis risiko yang ada.
Sensitifitas Analisis
Tingkatan sensitifitas analisis (dimulai dari yang paling sensitif sampai dengan yang kurang sensitif) adalah:
a. Analisis Kuantitatif
b. Analisis Semi-kuantitatif
c. Analisis Kualitatif
3. Menanggapi resiko
Mengambil sikap serbabisa. Risiko dan ketidakpastian tidak terhindarkan dalam kehidupan proyek. Walaupun di satu sisi seorang manajer proyek yang baik harus bersikap optimis dan positif dalam mengerjakan apa yang perlu dilakukan, sangatlah berbahaya untuk mengabaikan ancaman nyata.
Setiap proyek diharapkan pada sederetan risiko, dari yang paling kecil (melebihi anggaran sebesar $100) sampai yang paling besar (menunda pelemparan produk ke pasar sampai enam bulan). Waspadai bahwa menanggapi risiko itu menghabiskan sumberdaya. Sebagai manajer cerdas, Anda harus mengevaluasi ancaman yang dihadapkan pada proyek Anda, tentukan ancaman mana yang paling penting untuk dihadapi, kemudian putuskan tindakan yang perlu diambil.
Terdapat empat cara dasar menangani risiko. Anda dapat menghindari ancaman itu: pilihlah tindakan yang dapat mengurangi paparan pada ancaman. Anda dapat mengalihkan dampak risiko itu: seperti halnya asuransi, Anda tidak menghindari risiko, tetapi sebaliknya membuat diri Anda kebal terhadap konsekuensi terburuk. Anda dapat mengandaikan risiko itu: memegang pengertian bahwa Anda setuju untuk menghadapi konsekuensi terburuk. Anda dapat mencegah atau mengurangi risiko itu: ambillah tindakan untuk menangkal sumber risiko atau setidaknya mengurangi dampaknya.
Sebagaimana kita ketahui, pencegahan sering kali merupakan hal paling murah dan strategi yang paling dapat diandalkan dalam menghadapi risiko-khususnya pada situasi yang berdampak besar. Kapan pun masuk akal, berfokuslah pada ukuran-ukuran yang mencegah atau menghindarkan risiko.
Mengenai risiko sebenarnya berkaitan dengan perencanaan:
Kenali risiko terbesar. Bagian proyek apa saja yang Anda (dan perusahaan) ketahui paling sedikit? Pertimbangkan jangkauan, pengaturan waktu, dan ongkos teknologi, sumberdaya, serta faktor pasar.
Hitung dan analisalah risikonya. Walaupun sulit untuk dilakukan, coba hitung sifat alami risiko itu (misalnya, penjualan yang hilang jika jendela pasar terlewat, penjualan yang lebih rendah jika target ongkos produksi tidak terpenuhi, dan sebagainya). Tentukan kemungkinan dan dampak setiap risiko: kemungkinan dari kejadian tak diinginkan yang benar-benar terjadi, serta pengaruhnya pada proyek.
Definisikan rencana darurat. Kenali tindakan spesifik yang harus diambil jika muncul masalah tertentu. Tentukan pendekatan terbaik untuk menangani risiko yang kemungkinan besar akan muncul dan/atau yang akan berdampak besar pada proyek (dan pelanggan).
“Jika Anda mencoba memimpin suatu proyek tanpa memikirkan risiko dan ketidakpastian,… Anda akan terus menghadapi banyak hal yang akan menyelewengkan Anda ke arah yang tidak direncanakan.”
4. Komunikasi dan konsultasi
Komunikasi dan konsultasi merupakan pertimbangan penting pada setiap langkah atau tahapan dalam proses manejemen risiko. Sangat penting untuk mengembangkan rencana komunikasi, baik kepada kontributor internal maupun eksternal sejak tahapan awal proses manajemen risiko.
Komunikasi dan konsultasi termasuk didalamnya dialog dua arah diantara pihak yang berperan didalam proses manajemen risiko dengan fokus terhadap perkembangan kegiatan.
Komunikasi internal dan eksternal yang efektif penting untuk meyakinkan pihak manajemen sebagai dasar pengambilan keputusan.
Persepsi risiko dapat bervariasi karena adanya perbedaan dalam asumsi dan konsep, isu-isu, dan fokus perhatian kontributor dalam hal hubungan risiko dan isu yang dibicarakan. Kontributor membuat keputusan tentang risiko yang dapat diterima berdasarkan pada persepsi mereka terhadap risiko. Karena kontributor sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan maka sangat penting bagaimana persepsi mereka tentang risiko sama halnya dengan persepsi keuntungan-keuntungan yang bisa didapat dengan pelaksanaan manajemen risiko.
5. Memantau resiko dan mengkaji manajemen resiko
Pemantauan selama pengendalian risiko berlangsung perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang bisa terjadi. Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah ulang untuk selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan. Pada prinsipnya pemantauan dan telaah ulang perlu untuk dilakukan untuk menjamin terlaksananya seluruh proses manajemen risiko dengan optimal.
6. Mengintegrasikan hasil dan manajemen resiko ke dalam praktek semua level
Manajemen risiko dapat diterapkan di setiap level di organisasi. Manajemen risiko dapat diterapkan di level strategis dan level operasional. Manajemen risiko juga dapat diterapkan pada proyek yang spesifik, untuk membantu proses pengambilan keputusan ataupun untuk pengelolaan daerah dengan risiko yang spesifik.
Referensi:
http://staff.ui.ac.id/internal/132096019/material/Sesi3ManajemenRisikoK3.doc
http://www.keuanganlsm.com/article/bagaimana-bersikap-objektif-menghadapi-risiko-dalam-proyek/
Umum
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap risiko yang akan dikelola. Identifikasi harus dilakukan terhadap semua risiko, baik yang berada didalam ataupun diluar organisasi.
Apa Yang Dapat Terjadi
Tujuannya adalah untuk menyusun daftar risiko secara komprehensif dari kejadian-kejadian yang dapat berdampak pada setiap elemen kegiatan. Perlu juga dilakukan pencatatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi risiko yang ada secara rinci sehingga menggambarkan proses yang terjadi. Pada dasarnya tahap ini memberikan eksplorasi gambaran permasalahan yang sedang dihadapi. Tahap ini nantinya akan memberikan besaran konsekuensi yang dapat terjadi. Konsekuensi merupakan salah satu variabel penting untuk penentuan level risiko nantinya.
Bagaimana Dan Mengapa Itu Terjadi
Pada tahap ini dilakukan penyusunan skenario proses kejadian yang akan menimbulkan risiko berdasarkan informasi gambaran hasil eksplorasi masalah diatas. Skenario menjadi penting untuk memberikan rangkaian ‘cerita’ tentang proses terjadinya sebuah risiko, termasuk faktor-faktor yang adapat diduga menjadi penyebab ataupun mempengaruhi timbulnya risiko. Tahap ini akan memberikan rentang probabilitas yang ada. Sebagaimana konsekuensi, maka probabilitas juga merupakan variabel penting yang akan menentukan level risiko yang ada.
Peralatan Dan Teknik
Pendekatan yang digunakan untuk identifikasi risiko diantaranya, checklist, penilaian berdasarkan pengalaman dan pencatatan, flowcharts, brainstorming, analisis sistem, analisis skenario, dan teknik sistem engineering.
2. Menilai dan mengukur resiko
Umum
Tujuan dari analisis risiko adalah untuk membedakan risiko minor yang dapat diterima dari risiko mayor, dan untuk menyediakan data untuk membantu evaluasi dan penanganan risiko. Analisis risiko termasuk pertimbangan dari sumber risiko, dan konsekuensinya. Faktor yang mempengaruhi konsekuensi dapat teridentifikasi. Risiko dianalisis dengan mempertimbangkan estimasi konsekuensi dan perhitungan terhadap program pengendalian yang selama ini sudah dijalankan.
Analis pendahuluan dapat dibuat untuk mendapatkan gambaran seluruh risiko yang ada. Kemudian disusun urutan risiko yang ada. Risiko-risiko yang kecil untuk sementara diabaikan dulu. Prioritas diberikan kepada risiko-risiko yang cukup signifikan dapat menimbulkan kerugian.
Menetapkan/ Determinasi Pengendalian Yang Sudah Ada
Identifikasi manajemen, sistem teknis dan prosedur-prosedur yang sudah ada untuk pengendalian risiko, kemudian dinilai kelebihan dan kekurangannya. Alat-alat yang digunakan dinilai kesesuainnya. Pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan misalnya, seperti inspeksi dan teknik pengendalian dengan penilaian sendiri/ professional judgement (Control Self-Assessment Techniques/ CST).
Konsekuensi/ Dampak Dan Kemungkinan
Konsekuensi dan probabilitas adalah kombinasi/ gabungan untuk memperlihatkan level risiko. Berbagai metode bisa digunakan untuk menghitung konsekuensi dan probabilitas, diantaranya dengan menggunakan metode statistik.
Metode lain yang juga bisa digunakan jika data terdahulu tidak tersedia, dengan melakukan ekstrapolasi data-data sekunder secara umum dari lembaga-lembaga internasional maupun industri sejenis. Kemudian dibuat estimasi/ perkiraan secara subyektif. Metode ini disebut metode penentuan dengan professional judgement. Hasilnya dapat memberikan gambaran secara umum mengenai level risiko yang ada.
Sumber informasi yang dapat digunakan untuk menghitung konsekuensi diantaranya adalah:
a. Catatan-catatan terdahulu.
b. Pengalaman kejadian yang relevan.
c. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di industri dan pengalaman-pengalaman pengendaliannya.
d. Literatur-literatur yang beredar dan relevan.
e. Marketing test dan penelitian pasar.
f. Percobaan-percobaan dan prototipe.
g. Model ekonomi, teknik, maupun model yang lain.
h. Spesialis dan pendapat-pendapat para pakar.
Sedangkan teknik-tekniknya adalah:
a. Wawancara yang terstruktur dengan para pakar yang terkait.
b. Menggunakan berbagai disiplin keilmuan dari para pakar.
c. Evaluasi perorangan dengan menggunakan kuesioner.
d. Menggunakan sarana komputer dan lainnya.
e. Menggunakan pohon kesalahan (fault tree) dan pohon kejadian (event tree).
Tipe Analisis
Analisis risiko akan tergantung informasi risiko dan data yang tersedia. Metode analisis yang digunakan bisa bersifat kualitatif, semi kuantitatif, atau kuantitatif bahkan kombinasi dari ketiganya tergantung dari situasi dan kondisinya.
Urutan kompleksitas serta besarnya biaya analisis (dari kecil hingga besar) adalah: kualitatif, semi kuantitatif, dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang level risiko. Setelah itu dapat dilakukan analisis semi kuantitatif ataupun kuantitatif untuk lebih merinci level risiko yang ada.
Penjelasan tentang karakteristik jenis-jenis analisis tersebut dapat dilihat dibawah ini:
Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif menggunakan bentuk kata atau skala deskriptif untuk menjelaskan seberapa besar potensi risiko yang akan diukur. Hasilnya misalnya risiko dapat termasuk dalam:
a. Risiko rendah
b. Risiko sedang
c. Risiko tinggi
Catatan: Tabel E1 dan E2 dalam lampiran E menggambarkan contoh bentuk kualitatif yang mudah atau skala deskriptif dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tabel E3 adalah sebuah contoh dari sebuah matriks yang dibuat berdasarkan prioritas kelas dengan menggambungkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Tabel tersebut perlu ditata kembali sesuai kebutuhan dari organisasi yang individu atau subjek tertentu dari penilaian suatu risiko.
Analisis kualitatif digunakan untuk kegiatan skrining awal pada risiko yang membutuhkan analisis lebih rinci dan lebih mendalam.
Analisis Semi-Kuantitatif
Pada analisis semi kuantitatif, skala kualitatif yang telah disebutkan diatas diberi nilai. Setiap nilai yang diberikan haruslah menggambarkan derajat konsekuensi maupun probabilitas dari risiko yang ada. Misalnya suatu risiko mempunyai tingkat probabilitas sangat mungkin terjadi, kemudian diberi nilai 100. setelah itu dilihat tingkat konsekuensi yang dapat terjadi sangat parah, lalu diberi nilai 50. Maka tingkat risiko adalah 100 x 50 = 5000. Nilai tingkat risiko ini kemudian dikonfirmasikan dengan tabel standar yang ada (misalnya dari ANZS/ Australian New Zealand Standard, No. 96, 1999).
Kehati-hatian harus dilakukan dalam menggunakan analisis semi-kuantitatif, karena nilai yang kita buat belum tentu mencerminkan kondisi obyektif yang ada dari sebuah risiko. Ketepatan perhitungan akan sangat bergantung kepada tingkat pengetahuan tim ahli dalam analisis tersebut terhadap proses terjadinya sebuah risiko. Oleh karena itu kegiatan analisis ini sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan background, tentu saja juga melibatkan manajer ataupun supervisor di bidang operasi.
Analisis Kuantitatif
Analisis dengan metode ini menggunakan nilai numerik. Kualitas dari analisis tergantung pada akurasi dan kelengkapan data yang ada. Konsekuensi dapat dihitung dengan menggunakan metode modeling hasil dari kejadian atau kumpulan kejadian atau dengan mempekirakan kemungkinan dari studi eksperimen atau data sekunder/ data terdahulu.
Probabilitas biasanya dihitung sebagai salah satu atau keduanya (exposure dan probability). Kedua variabel ini (probabilitas dan konsekuensi) kemudian digabung untuk menetapkan tingkat risiko yang ada. Tingkat risiko ini akan berbeda-beda menurut jenis risiko yang ada.
Sensitifitas Analisis
Tingkatan sensitifitas analisis (dimulai dari yang paling sensitif sampai dengan yang kurang sensitif) adalah:
a. Analisis Kuantitatif
b. Analisis Semi-kuantitatif
c. Analisis Kualitatif
3. Menanggapi resiko
Mengambil sikap serbabisa. Risiko dan ketidakpastian tidak terhindarkan dalam kehidupan proyek. Walaupun di satu sisi seorang manajer proyek yang baik harus bersikap optimis dan positif dalam mengerjakan apa yang perlu dilakukan, sangatlah berbahaya untuk mengabaikan ancaman nyata.
Setiap proyek diharapkan pada sederetan risiko, dari yang paling kecil (melebihi anggaran sebesar $100) sampai yang paling besar (menunda pelemparan produk ke pasar sampai enam bulan). Waspadai bahwa menanggapi risiko itu menghabiskan sumberdaya. Sebagai manajer cerdas, Anda harus mengevaluasi ancaman yang dihadapkan pada proyek Anda, tentukan ancaman mana yang paling penting untuk dihadapi, kemudian putuskan tindakan yang perlu diambil.
Terdapat empat cara dasar menangani risiko. Anda dapat menghindari ancaman itu: pilihlah tindakan yang dapat mengurangi paparan pada ancaman. Anda dapat mengalihkan dampak risiko itu: seperti halnya asuransi, Anda tidak menghindari risiko, tetapi sebaliknya membuat diri Anda kebal terhadap konsekuensi terburuk. Anda dapat mengandaikan risiko itu: memegang pengertian bahwa Anda setuju untuk menghadapi konsekuensi terburuk. Anda dapat mencegah atau mengurangi risiko itu: ambillah tindakan untuk menangkal sumber risiko atau setidaknya mengurangi dampaknya.
Sebagaimana kita ketahui, pencegahan sering kali merupakan hal paling murah dan strategi yang paling dapat diandalkan dalam menghadapi risiko-khususnya pada situasi yang berdampak besar. Kapan pun masuk akal, berfokuslah pada ukuran-ukuran yang mencegah atau menghindarkan risiko.
Mengenai risiko sebenarnya berkaitan dengan perencanaan:
Kenali risiko terbesar. Bagian proyek apa saja yang Anda (dan perusahaan) ketahui paling sedikit? Pertimbangkan jangkauan, pengaturan waktu, dan ongkos teknologi, sumberdaya, serta faktor pasar.
Hitung dan analisalah risikonya. Walaupun sulit untuk dilakukan, coba hitung sifat alami risiko itu (misalnya, penjualan yang hilang jika jendela pasar terlewat, penjualan yang lebih rendah jika target ongkos produksi tidak terpenuhi, dan sebagainya). Tentukan kemungkinan dan dampak setiap risiko: kemungkinan dari kejadian tak diinginkan yang benar-benar terjadi, serta pengaruhnya pada proyek.
Definisikan rencana darurat. Kenali tindakan spesifik yang harus diambil jika muncul masalah tertentu. Tentukan pendekatan terbaik untuk menangani risiko yang kemungkinan besar akan muncul dan/atau yang akan berdampak besar pada proyek (dan pelanggan).
“Jika Anda mencoba memimpin suatu proyek tanpa memikirkan risiko dan ketidakpastian,… Anda akan terus menghadapi banyak hal yang akan menyelewengkan Anda ke arah yang tidak direncanakan.”
4. Komunikasi dan konsultasi
Komunikasi dan konsultasi merupakan pertimbangan penting pada setiap langkah atau tahapan dalam proses manejemen risiko. Sangat penting untuk mengembangkan rencana komunikasi, baik kepada kontributor internal maupun eksternal sejak tahapan awal proses manajemen risiko.
Komunikasi dan konsultasi termasuk didalamnya dialog dua arah diantara pihak yang berperan didalam proses manajemen risiko dengan fokus terhadap perkembangan kegiatan.
Komunikasi internal dan eksternal yang efektif penting untuk meyakinkan pihak manajemen sebagai dasar pengambilan keputusan.
Persepsi risiko dapat bervariasi karena adanya perbedaan dalam asumsi dan konsep, isu-isu, dan fokus perhatian kontributor dalam hal hubungan risiko dan isu yang dibicarakan. Kontributor membuat keputusan tentang risiko yang dapat diterima berdasarkan pada persepsi mereka terhadap risiko. Karena kontributor sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan maka sangat penting bagaimana persepsi mereka tentang risiko sama halnya dengan persepsi keuntungan-keuntungan yang bisa didapat dengan pelaksanaan manajemen risiko.
5. Memantau resiko dan mengkaji manajemen resiko
Pemantauan selama pengendalian risiko berlangsung perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang bisa terjadi. Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah ulang untuk selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan. Pada prinsipnya pemantauan dan telaah ulang perlu untuk dilakukan untuk menjamin terlaksananya seluruh proses manajemen risiko dengan optimal.
6. Mengintegrasikan hasil dan manajemen resiko ke dalam praktek semua level
Manajemen risiko dapat diterapkan di setiap level di organisasi. Manajemen risiko dapat diterapkan di level strategis dan level operasional. Manajemen risiko juga dapat diterapkan pada proyek yang spesifik, untuk membantu proses pengambilan keputusan ataupun untuk pengelolaan daerah dengan risiko yang spesifik.
Referensi:
http://staff.ui.ac.id/internal/132096019/material/Sesi3ManajemenRisikoK3.doc
http://www.keuanganlsm.com/article/bagaimana-bersikap-objektif-menghadapi-risiko-dalam-proyek/
Pendekatan dalam Menghitung Beban Modal
1. Pendekatan indikator dasar
Pendekatan indikator dasar (basic indicator approach, BIA) atau pendekatan dasar adalah suatu rangkaian teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Basel II mengharuskan semua lembaga perbankan untuk menyisihkan sebagian modal bagi risiko operasional. Metode BIA relatif lebih sederhana dibandingkan alternatif pendekatan lain (pendekatan standar dan pendekatan pengukuran lanjut) dan telah direkomendasikan bagi bank yang tak memiliki operasi internasional vital.
Berdasarkan Basel, bank yang menggunakan pendekatan ini harus mencadangkan modal untuk risiko operasional setara dengan rerata suatu persentase tetap pendapatan kotor tahunan selama tiga tahun terakhir. Pendapatan kotor negatif atau nol harus dikecualikan baik dari pembilang maupun penyebut sewaktu menghitung rerata tersebut.
2. Pendekatan standar
Dalam Basel II, pendekatan standar adalah kumpulan teknik pengukuran risiko bagi lembaga perbankan. Istilah ini dapat dipergunakan dalam konteks risiko kredit maupun risiko operasional.
Pada pengukuran risiko kredit, pendekatan standar dilakukan dengan menggunakan lembaga pemeringkat kredit eksternal untuk mengkuantifikasikan kecukupan modal. Pada kebanyakan negara, metode ini merupakan satu-satunya metode yang disetujui pada tahap awal implementasi Basel II. Metode lainnya adalah dengan menggunakan sistem peringkat internal Foundation IRB dan Advanced IRB.
Untuk risiko operasional, aktivitas bank dibagi menjadi delapan lini bisnis: keuangan perusahaan, perdagangan dan penjualan, perbankan komersial, pembayaran dan penyelesaian, jasa agen, pengelolaan aset, serta pialang ritel. Modal untuk risiko operasional dari masing-masing lini tersebut adalah persentase pendapatan kotor bank dari lini bisnis tersebut.
3. Pendekatan pengukuran lanjutan
Pendekatan pengukuran lanjut (advanced measurement approach, AMA) adalah suatu kumpulan teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Pendekatan ini mengizinkan bank untuk mengembangkan sendiri model empiris mereka untuk mengkuantifikasikan kebutuhan modal untuk risiko operasional, dengan persetujuan dari regulator lokal.
Menurut Basel, untuk layak menggunakan AMA, suatu bank harus memenuhi persyaratan minimum berikut:
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_indikator_dasar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_standar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_pengukuran_lanjut
Pendekatan indikator dasar (basic indicator approach, BIA) atau pendekatan dasar adalah suatu rangkaian teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Basel II mengharuskan semua lembaga perbankan untuk menyisihkan sebagian modal bagi risiko operasional. Metode BIA relatif lebih sederhana dibandingkan alternatif pendekatan lain (pendekatan standar dan pendekatan pengukuran lanjut) dan telah direkomendasikan bagi bank yang tak memiliki operasi internasional vital.
Berdasarkan Basel, bank yang menggunakan pendekatan ini harus mencadangkan modal untuk risiko operasional setara dengan rerata suatu persentase tetap pendapatan kotor tahunan selama tiga tahun terakhir. Pendapatan kotor negatif atau nol harus dikecualikan baik dari pembilang maupun penyebut sewaktu menghitung rerata tersebut.
2. Pendekatan standar
Dalam Basel II, pendekatan standar adalah kumpulan teknik pengukuran risiko bagi lembaga perbankan. Istilah ini dapat dipergunakan dalam konteks risiko kredit maupun risiko operasional.
Pada pengukuran risiko kredit, pendekatan standar dilakukan dengan menggunakan lembaga pemeringkat kredit eksternal untuk mengkuantifikasikan kecukupan modal. Pada kebanyakan negara, metode ini merupakan satu-satunya metode yang disetujui pada tahap awal implementasi Basel II. Metode lainnya adalah dengan menggunakan sistem peringkat internal Foundation IRB dan Advanced IRB.
Untuk risiko operasional, aktivitas bank dibagi menjadi delapan lini bisnis: keuangan perusahaan, perdagangan dan penjualan, perbankan komersial, pembayaran dan penyelesaian, jasa agen, pengelolaan aset, serta pialang ritel. Modal untuk risiko operasional dari masing-masing lini tersebut adalah persentase pendapatan kotor bank dari lini bisnis tersebut.
3. Pendekatan pengukuran lanjutan
Pendekatan pengukuran lanjut (advanced measurement approach, AMA) adalah suatu kumpulan teknik pengukuran risiko operasional yang diajukan oleh aturan kecukupan modal Basel II untuk lembaga perbankan. Pendekatan ini mengizinkan bank untuk mengembangkan sendiri model empiris mereka untuk mengkuantifikasikan kebutuhan modal untuk risiko operasional, dengan persetujuan dari regulator lokal.
Menurut Basel, untuk layak menggunakan AMA, suatu bank harus memenuhi persyaratan minimum berikut:
- Dewan direksi dan manajemen senior, jika diperlukan, terlibat aktif dalam pemantauan pelaksanaan kerangka manajemen risiko operasional,
- Memiliki sistem manajemen risiko operasional yang memiliki konsep yang baik dan diimplementasikan dengan integritas, serta
- Memiliki sumber daya yang cukup untuk penggunaan pendekatan tersebut pada lini bisnis utamanya, serta pada wilayah-wilayah pengendalian dan audit.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_indikator_dasar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_standar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_pengukuran_lanjut
11 Januari 2012
Kerangka Regulasi Perbankan oleh Bank Indonesia
1. Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia.
Tugas Pokok Bank Indonesia:
Ad.1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Dalam menetapkan melaksanakan kebijakan moneter, BI melakukan melalui kegiatan:
Ad.2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Prasarana yang disediakan oleh Bank Indonesia:
Sistem Kliring Nasional
Sistem kliring nasional bank indonesia (SKNBI) adalah sistem kliring Bank Indonesia yang menggunakan data keuangan elektronik antar pserta kliring. SKNBI meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Penyelesaian akhir pada penyelenggaraan kliring debet dan kliring kredit dilakukan oleh penyelenggara kliring nasional berdasarkan perhitungan secara net multilateral dan dilakukan berdasarkan prinsip pembaharuan hutang, serta bersifat final dan tidak bisa dibatalkan. Nilai maksimal pernota debet SKNBI adalah Rp 10 juta, sedangkan untuk nota kredit adalah di bawah Rp 100 juta.
Real Time Gross Settlement
RTGS ditujukan untuk mendukung tercapainya sistem pembayaran efisien, cepat, aman, dan handal guna mendukung stabilitas sistem keuangan. Implementasi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) merupakan sistem transfer dana elektronik antar peserta yang penyelesaiannya secara seketika pertransaksi secara individual.
Kliring Warkat Luar Wilayah
Kliring Warkat Luar Wilayah, tujuannya adalah agar bank yang telah mendaftar dan mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dimungkinkan untuk mengklirinkan cek dan bilyet giro yang diterbitkan oleh kantor bank yang bukan peserta di wilayah kliring tersebut. Manfaat penerapan kliring warkat luar wilayah adalah untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya karena;
Ad.3. Pengaturan dan Pengawasan Bank.
Tujuan Pengaturan & Pengawasan Bank Indonesia
Tujuan Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesai sebagai:
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan Bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
Sistem Pengawasan Bank
Dalam menjalankan tugas pengawas bank, BI menggunakan 2 (dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.
2. Kebijakan Perbankan
Regulasi terhadap industri perbankan berkembang sedemikian cepat sejak terjadinya krisis multidimensi pada tahun 1998 yang lalu. Pada awalnya kebijakan terkait dengan reaksi dan koreksi Bank Indonesia terhadap krisis yang telah terjadi. Setelah dinilai stabil akhirnya Bank Indonesia menerbitkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu 5 sampai 10 tahun ke depan.
Arah kebijakan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna mencapai stabilitas sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Guna mempermudah pencapaian visi API tersebut, maka ditetapkan 6 sasaran pokok API yang ingin dicapai yaitu:
Ruang lingkup MR Perbankan :
Komite Manajemen Risiko dan Unit Manajemen Risiko Direksi suatu bank mempunyai suatu kewajiban yang umum untuk menciptakan suatu struktur organiasasi untuk mengelola risiko bank yang meliputi suatu komite manajemen risiko dan suatu unit manajemen risiko.
Keanggotaan dari Komite Manajemen Risiko terdiri dari mayoritas Direksi bersama-sama dengan pejabat senior yang terkait. Komite Manajemen Risiko harus mampu menyediakan rekomendasi bagi Direktur Utama dalam beberapa hal:
Persyaratan dalam membangun Unit Manajemen Risiko:
Persyaratan Pelaporan dari Bank Indonesia
Referensi: http://bankirnews.com/index.php?option=com_jdownloads&Itemid=158&view=finish&cid=10&catid=12&m=0
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia.
Tugas Pokok Bank Indonesia:
- Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
- Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta
- Mengatur dan mengawasi perbankan.
Ad.1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Dalam menetapkan melaksanakan kebijakan moneter, BI melakukan melalui kegiatan:
- Pelaksanaan OPT dalam upaya mempengaruhi likuiditas di Pasar Uang;
- Penetapan Giro Wajib Minimum untuk memperketat atau melonggarkan kebijakan moneter;
- Bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir (lender of the last resort) untuk membantu pendanaan jangka pendek perbankan yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan;
- Melaksanakan kebijakan nilai tukar untuk memelihara stabilitas nilai tukar rupiah; dan
- Mengelola cadangan devisa untuk memfasilitasi perdagangan internasional.
Ad.2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Prasarana yang disediakan oleh Bank Indonesia:
- Sistem kliring nasional;
- Real Time Gross Settlement (RTGS), dan
- Kliring warkat luar wilayah (intercity clearing)
Sistem Kliring Nasional
Sistem kliring nasional bank indonesia (SKNBI) adalah sistem kliring Bank Indonesia yang menggunakan data keuangan elektronik antar pserta kliring. SKNBI meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Penyelesaian akhir pada penyelenggaraan kliring debet dan kliring kredit dilakukan oleh penyelenggara kliring nasional berdasarkan perhitungan secara net multilateral dan dilakukan berdasarkan prinsip pembaharuan hutang, serta bersifat final dan tidak bisa dibatalkan. Nilai maksimal pernota debet SKNBI adalah Rp 10 juta, sedangkan untuk nota kredit adalah di bawah Rp 100 juta.
Real Time Gross Settlement
RTGS ditujukan untuk mendukung tercapainya sistem pembayaran efisien, cepat, aman, dan handal guna mendukung stabilitas sistem keuangan. Implementasi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) merupakan sistem transfer dana elektronik antar peserta yang penyelesaiannya secara seketika pertransaksi secara individual.
Kliring Warkat Luar Wilayah
Kliring Warkat Luar Wilayah, tujuannya adalah agar bank yang telah mendaftar dan mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dimungkinkan untuk mengklirinkan cek dan bilyet giro yang diterbitkan oleh kantor bank yang bukan peserta di wilayah kliring tersebut. Manfaat penerapan kliring warkat luar wilayah adalah untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya karena;
- Efektifitas dana cek dan bilyet giro sesuai dengan jadwal kliring lokal dimana warkat dikliringkan same day value.
- Biaya proses oleh BI sama dengan warkat kliring lainnya.
Ad.3. Pengaturan dan Pengawasan Bank.
Tujuan Pengaturan & Pengawasan Bank Indonesia
Tujuan Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesai sebagai:
- lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana;
- pelaksana kebijakan moneter;
- lembaga yang ikut dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan, agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
- Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha
- Kebijakan prinsip kehati-hatian bank;
- Pengawasan bank yang bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan Bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
- Kewenangan memberikan izin, yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh bank Indonesia dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu
- Kewenangan untuk mengatur yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan yang sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
- Kewenangan untuk mengawasi, yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
- Kewenangan untuk mengenakan sanksi, yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.
Sistem Pengawasan Bank
Dalam menjalankan tugas pengawas bank, BI menggunakan 2 (dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.
2. Kebijakan Perbankan
Regulasi terhadap industri perbankan berkembang sedemikian cepat sejak terjadinya krisis multidimensi pada tahun 1998 yang lalu. Pada awalnya kebijakan terkait dengan reaksi dan koreksi Bank Indonesia terhadap krisis yang telah terjadi. Setelah dinilai stabil akhirnya Bank Indonesia menerbitkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu 5 sampai 10 tahun ke depan.
Arah kebijakan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna mencapai stabilitas sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Guna mempermudah pencapaian visi API tersebut, maka ditetapkan 6 sasaran pokok API yang ingin dicapai yaitu:
- Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
- Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.
- Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
- Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
- Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat.
- Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Ruang lingkup MR Perbankan :
- pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi;
- kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
- kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
- sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Komite Manajemen Risiko dan Unit Manajemen Risiko Direksi suatu bank mempunyai suatu kewajiban yang umum untuk menciptakan suatu struktur organiasasi untuk mengelola risiko bank yang meliputi suatu komite manajemen risiko dan suatu unit manajemen risiko.
Keanggotaan dari Komite Manajemen Risiko terdiri dari mayoritas Direksi bersama-sama dengan pejabat senior yang terkait. Komite Manajemen Risiko harus mampu menyediakan rekomendasi bagi Direktur Utama dalam beberapa hal:
- kebijakan risiko, strategi dan aplikasi
- setiap perubahan proses sebagai hasil dari rekomendasi audit internal atau evaluasi lainnya dari proses manajemen risiko
- penjelasan kepada Bank Indonesia dan Direksi bank beberapa keputusan yang dibuat oleh bank bertentangan dengan kebijakan
- manajemen risiko.
Persyaratan dalam membangun Unit Manajemen Risiko:
- harus seuai dengan ukuran dan kompleksitas dari risiko-risiko yang akan diambil oleh bank
- independen secara operasional dan pelaporan unit bisnis
- melapor kepada direksi bank atau direktur khusus yang ditugaskan.
Persyaratan Pelaporan dari Bank Indonesia
- Laporan Profil Risiko
- Laporan Produk dan Aktivitas Baru
- Laporan Kerugian Keuangan yang signifikan
- Laporan Publikasi dan Akuntansi
Referensi: http://bankirnews.com/index.php?option=com_jdownloads&Itemid=158&view=finish&cid=10&catid=12&m=0
Perbankan, Resiko Perbankan dan Regulasi Perbankan
1. Perbankan
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.bank didirikan oleh Prof. Dr. Ali Afifuddin, SE. Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:
2. Resiko perbankan
Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated), yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan modal bank. Meskipun manajer bank berusaha untuk menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara simultan mereka harus juga memperhatikan adanya kemungkinan resiko yang timbul menyertai keputusan-keputusan manajemen tentang struktur aset dan liabilitasnya. Secara spesifik resiko-resiko yang akan menyebabkan bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi resiko likuiditas, resiko kredit, resiko tingkat bunga dan resiko modal. Bank syariah tidak akan mengahapi resiko tingkat bunga, walaupun dalam lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya resiko likuiditas sebagai akibat adanya nasabah yang menarik dana dari bank syariah dan berpindah ke bank konvensional.
Bank harus memerhatikan dengan serius potensi resiko yang dihadapinya dan mengembangkan sistem untuk mengidentifikasikasi, mengontrol, dan mengelola resiko-resiko tersebut. Pengembangan budaya manajemen resiko pada bank merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tanggung jawab otoritas pengawasan dan regulator.
3. Kebutuhan perbankan atas regulasi
Mengapa regulasi dibutuhkan?
Tujuan regulasi pada industri perbankan adalah untuk melindungi nasabah dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap produk-produk dari industri perbankan tersebut.
Rasio hutang berbanding Modal (Leverage)
Bank adalah suatu institusi yang sebagaian besar dari passivanya adalah kewajiban dan hutang. Dengan posisi tersebut berarti hutang jauh lebih besar dibanding modal. Kondisi ini disebut sebagai highly gearing atau highly leverage, yang disebabkan karena bank sangat bergantung kepada hutang (geared). Pada neraca bank khususnya passiva terdiri dari penempatan dana dari 3(tiga) pihak penting.
1. Pihak pertama, pemegang saham menempatkan dana dalam bentuk equitas.
2. Pihak kedua dana dari bank dan lembaga keuangan lain berupa pinjaman dan
surat-surat berharga.
3. Pihak ketiga, dana nasabah yang umumnya ditempatkan dalam rekening giro,
tabungan, dan deposito.
Modal (Capital)
Khusus untuk industri perbankan, mengingat risiko dapat terjadi kapanpun serta penyerapan kerugian yang ditimbulkan oleh risiko tergantung kepada ketersediaan modal, maka struktur modal sebuah
bank perlu diatur oleh bank sentral sebagai regulator perbankan.
Ketidakmampuan Bank dalam menyelesaikan Kewajiban (Insolvency)
Insolvency merupakan suatu keadaan dimana bank tidak mampu untuk membayar seluruh kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dampak dari insolvency suatu bank secara sistemik dapat menimbulkan efek domino terhadap bank lain hingga akhirnya menimbulkan dampak buruk pada perekonomian secara keseluruhan.
Peranan Bank Sentral sebagai Lender of the Last Resort
Peran dari Bank Sentral sebagai lender of the last resort terhadap sistem perbankan diperlukan karena salah satu tugas pokok sentral adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem perbankan.
Stabilitas Keuangan (Finacial Stability)
Stabilitas keuangan didefinisikan sebagai pemeliharaan situasi yang terkait dengan kapasitas lembaga keuangan dan pasar untuk memobilisasi dana dari surplus spending unit secara efisien, menyediakan likuiditas, serta mengalokasikan investasi tanpa masalah.
Stabilitas moneter (Monetry Stability)
Stabilitas moneter didefinisikan sebagai stabilitas dalam menjaga nilai uang. Stabilitas dimaksud digambarkan oleh tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan lembaga pemerintah yang betugas untuk memelihara stabilitas moneter. Kepedulian tersebut terlihat dari visi dan misi yang diemban oleh Bank Indonesia. Visi Bank Indonesia: Menjadi lembaga Bank Sentral yang dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Misi Bank Indonesia: Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan. Dengan stabilitas moneter yang terjaga diharapkan akan memudahkan pengelolaan ekonomi secara mikro oleh pihak swasta dan makro oleh pemerintah.
Liberalisasi Keuangan Internasional
Liberalisasi keuangan internasional dimulai pada awal tahun 1970-an yang memberi dampak terhadap hilangnya batasan kompetisi antar lembaga keuangan antar negara, hilangnya batasan penetapan harga produk keuangan seperti suku bunga antar negara, hilangnya pembatasan aliran dana berupa pinjaman dan modal antar negara, serta lintas nilai tukar antar negara yang sangat likuid. Liberalisasi pengawasan lintas batas membuat hubungan keuangan antar institusi, pasar dan negara harus mengikuti berbagai peraturan perundang-undangan lintas negara, misalnya bank asing yang ada di jakarta, selain mengikuti regulasi di negara asal dimana kantor pusatnya berada, cabang di Jakarta juga harus mematuhi regulasi yang dibuat oleh Bank Indonesia.
Persaingan Antarbank dan Inovasi Produk Keuangan
Persaingan dalam industri perbankan berkembang dengan cepat. Pada awalnya keunggulan teknologi telah menjadi keunggulan kompetitif bagi bank-bank pelopor penggunaan teknologi. Hingga akhir dekade 1990-an, bank yang unggul secara teknologi seperti on line system dan menggunakan ATM secara aktraktif mampu menjaring nasabah jauh lebih banyak dari pada bank lain yang masih menggunakan off line system.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank
http://adenazkey17.blogspot.com/2010/11/manajemen-resiko-perbankan-syariah.html
http://bankirnews.com/index.php?option=com_jdownloads&Itemid=158&view=finish&cid=10&catid=12&m=0
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.bank didirikan oleh Prof. Dr. Ali Afifuddin, SE. Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:
- Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka pendek (yield enhancement).
- Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.
- Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).
- Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri.
- Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa mendatang.
2. Resiko perbankan
Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated), yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan modal bank. Meskipun manajer bank berusaha untuk menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara simultan mereka harus juga memperhatikan adanya kemungkinan resiko yang timbul menyertai keputusan-keputusan manajemen tentang struktur aset dan liabilitasnya. Secara spesifik resiko-resiko yang akan menyebabkan bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi resiko likuiditas, resiko kredit, resiko tingkat bunga dan resiko modal. Bank syariah tidak akan mengahapi resiko tingkat bunga, walaupun dalam lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya resiko likuiditas sebagai akibat adanya nasabah yang menarik dana dari bank syariah dan berpindah ke bank konvensional.
Bank harus memerhatikan dengan serius potensi resiko yang dihadapinya dan mengembangkan sistem untuk mengidentifikasikasi, mengontrol, dan mengelola resiko-resiko tersebut. Pengembangan budaya manajemen resiko pada bank merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tanggung jawab otoritas pengawasan dan regulator.
3. Kebutuhan perbankan atas regulasi
Mengapa regulasi dibutuhkan?
Tujuan regulasi pada industri perbankan adalah untuk melindungi nasabah dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap produk-produk dari industri perbankan tersebut.
Rasio hutang berbanding Modal (Leverage)
Bank adalah suatu institusi yang sebagaian besar dari passivanya adalah kewajiban dan hutang. Dengan posisi tersebut berarti hutang jauh lebih besar dibanding modal. Kondisi ini disebut sebagai highly gearing atau highly leverage, yang disebabkan karena bank sangat bergantung kepada hutang (geared). Pada neraca bank khususnya passiva terdiri dari penempatan dana dari 3(tiga) pihak penting.
1. Pihak pertama, pemegang saham menempatkan dana dalam bentuk equitas.
2. Pihak kedua dana dari bank dan lembaga keuangan lain berupa pinjaman dan
surat-surat berharga.
3. Pihak ketiga, dana nasabah yang umumnya ditempatkan dalam rekening giro,
tabungan, dan deposito.
Modal (Capital)
Khusus untuk industri perbankan, mengingat risiko dapat terjadi kapanpun serta penyerapan kerugian yang ditimbulkan oleh risiko tergantung kepada ketersediaan modal, maka struktur modal sebuah
bank perlu diatur oleh bank sentral sebagai regulator perbankan.
Ketidakmampuan Bank dalam menyelesaikan Kewajiban (Insolvency)
Insolvency merupakan suatu keadaan dimana bank tidak mampu untuk membayar seluruh kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dampak dari insolvency suatu bank secara sistemik dapat menimbulkan efek domino terhadap bank lain hingga akhirnya menimbulkan dampak buruk pada perekonomian secara keseluruhan.
Peranan Bank Sentral sebagai Lender of the Last Resort
Peran dari Bank Sentral sebagai lender of the last resort terhadap sistem perbankan diperlukan karena salah satu tugas pokok sentral adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem perbankan.
Stabilitas Keuangan (Finacial Stability)
Stabilitas keuangan didefinisikan sebagai pemeliharaan situasi yang terkait dengan kapasitas lembaga keuangan dan pasar untuk memobilisasi dana dari surplus spending unit secara efisien, menyediakan likuiditas, serta mengalokasikan investasi tanpa masalah.
Stabilitas moneter (Monetry Stability)
Stabilitas moneter didefinisikan sebagai stabilitas dalam menjaga nilai uang. Stabilitas dimaksud digambarkan oleh tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan lembaga pemerintah yang betugas untuk memelihara stabilitas moneter. Kepedulian tersebut terlihat dari visi dan misi yang diemban oleh Bank Indonesia. Visi Bank Indonesia: Menjadi lembaga Bank Sentral yang dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Misi Bank Indonesia: Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan. Dengan stabilitas moneter yang terjaga diharapkan akan memudahkan pengelolaan ekonomi secara mikro oleh pihak swasta dan makro oleh pemerintah.
Liberalisasi Keuangan Internasional
Liberalisasi keuangan internasional dimulai pada awal tahun 1970-an yang memberi dampak terhadap hilangnya batasan kompetisi antar lembaga keuangan antar negara, hilangnya batasan penetapan harga produk keuangan seperti suku bunga antar negara, hilangnya pembatasan aliran dana berupa pinjaman dan modal antar negara, serta lintas nilai tukar antar negara yang sangat likuid. Liberalisasi pengawasan lintas batas membuat hubungan keuangan antar institusi, pasar dan negara harus mengikuti berbagai peraturan perundang-undangan lintas negara, misalnya bank asing yang ada di jakarta, selain mengikuti regulasi di negara asal dimana kantor pusatnya berada, cabang di Jakarta juga harus mematuhi regulasi yang dibuat oleh Bank Indonesia.
Persaingan Antarbank dan Inovasi Produk Keuangan
Persaingan dalam industri perbankan berkembang dengan cepat. Pada awalnya keunggulan teknologi telah menjadi keunggulan kompetitif bagi bank-bank pelopor penggunaan teknologi. Hingga akhir dekade 1990-an, bank yang unggul secara teknologi seperti on line system dan menggunakan ATM secara aktraktif mampu menjaring nasabah jauh lebih banyak dari pada bank lain yang masih menggunakan off line system.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank
http://adenazkey17.blogspot.com/2010/11/manajemen-resiko-perbankan-syariah.html
http://bankirnews.com/index.php?option=com_jdownloads&Itemid=158&view=finish&cid=10&catid=12&m=0
Langganan:
Postingan (Atom)